Oleh : Ust. Yulian Purnama
Bismillah,
Doa Istiftah adalah doa yang dibaca ketika shalat, antara takbiratul ihram dan ta’awudz sebelum membaca surat Al Fatihah.
Hukum Membaca Doa Istiftah
Hukum membacanya adalah sunnah. Diantaranya dalilnya adalah hadist dari Abu Hurairah:
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)
Nama : Andi Yazhir, Kun-yah : Abu Rabbani Al Bugisy, Agama Islam : Ahlus Sunnah Wal Jama'ah berdasarkan Al Qur'an dan Hadits Shahih 'Alaa Fahmi Salaf. Jika sebuah hadist itu Shahih apalagi Mutawatir,dan kebetulan bertentangan dgn akal, maka tetap taatilah dan katakan "Sami'naa wa atho'naa". Jangan di bantah dgn akal & hawa nafsu, atau diplintir, di takwil dgn ro'yu (logika sendiri) dgn alasan bahwa hadist itu harus di maknai secara kontekstual dulu.
Tampilkan postingan dengan label Fiqih dan Tauhid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih dan Tauhid. Tampilkan semua postingan
22 Februari 2012
21 Februari 2012
#ALLAH MAHA KAYA & MAHA PEMBERI REZEKI#
Bismillah,
Sungguh اللّه memberi rizki tanpa ada kesulitan & sama sekali tak terbebani. Ath-Thohawi rahimahullah dalam matan kitab aqidahnya berkata, “اللّه itu Maha Pemberi Rizki & sama sekali tak terbebani”.
Seandainya semua makhluk meminta pada اللّه, Dia akan memberikan pada mereka & itu sama sekali tak akan mengurangi kerajaan-Nya sedikitpun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, اللّه Ta’ala berfirman Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yg terdahulu & orang-orang yg belakangan serta semua jin & manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tak akan mengurangi kekuasaan yg ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan” [HSR Muslim #2577 dari Abu Dzar al-Ghifari].
Sungguh اللّه memberi rizki tanpa ada kesulitan & sama sekali tak terbebani. Ath-Thohawi rahimahullah dalam matan kitab aqidahnya berkata, “اللّه itu Maha Pemberi Rizki & sama sekali tak terbebani”.
Seandainya semua makhluk meminta pada اللّه, Dia akan memberikan pada mereka & itu sama sekali tak akan mengurangi kerajaan-Nya sedikitpun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, اللّه Ta’ala berfirman Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yg terdahulu & orang-orang yg belakangan serta semua jin & manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tak akan mengurangi kekuasaan yg ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan” [HSR Muslim #2577 dari Abu Dzar al-Ghifari].
24 September 2010
As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an
Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah :
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal. 24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah :
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal. 24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari
19 April 2010
::: Apa Setelah "AKAD NIKAH":::
::: apa setelah "AKAD NIKAH":::
MEMASUKI AWAL KEHIDUPAN BERUMAH TANGGA
Menikah merupakan sunnah para nabi dan para rasul, disamping sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan dan karunia nikmat dari Allah Azza wa Jalla. Melalui pernikahan, manusia yang berpasangan laki dan perempuan akan memulai menjalani kehidupan baru, yaitu kehidupan rumah tangga, yang menjadi dambaan setiap manusia di muka bumi ini. Demikian ini sudah sunnatullah, yang merupakan siklus kehidupannya sebelum semuanya berakhir, yaitu mendapatkan keturunan.
Di hadapan sepasang suami-istri tersebut mementang berbagai permasalahan yang harus dihadapi bersama. Permasalahan di dalam keluarga sangatlah kompleks dan saling berkaitan, antara satu dengan lainnya. Tidak hanya dari segi syari'at, dunia kesehatan pun akan dihadapinya serta akan mempengaruhi bagaimana syariat itu dijalaninya.
Bagi para calon pasangan yang akan memasuki bahtera rumah tangga, juga bagi mereka yang memulai menapaki kehidupan baru, perlu sedikit mengetahui beberapa hal berkaitan dengan celah-celah kesehatan yang akan mewarnai kehidupannya.
PASCA MENIKAH
Setelah prosesi pernikahan, pasangan baru yang biasa disebut pengantin baru, akan selalu mendapatkan perasaan yang penuh suka cita. Mungkin, masa inilah puncak keindahan dan dambaan setiap insan, baik laki-laki maupun wanita.
Di balik rasa kegembiraan ini, tidak sedikit keluhan yang dialami pasangan baru. Selain harus beradaptasi dalam hal kepribadian masing-masing, masalah kesehatan hampir selalu terjadi pada awal kehidupan barunya. Secara fisik, keluhan sering terjadi pada pihak wanita.
Beberapa hari, bahkan sampai beberapa bulan setelah menikah, sang istri yang sebelumnya masih perawan atau gadis, biasa akan mengeluh sakit di daerah farji, kemudian berlanjut mengeluh nyeri saat buang air kecil. Terkadang mengalami kesulitan buang air kecil. Lebih lanjut, bisa beresiko terkena infeksi saluran kencing, terutama mereka yang sebelumnya pernah mengidap penyakit ini. Tak ketinggalan nyeri pinggang dan punggung akan menyertai hai-hari baru sang istri.
MEMASUKI AWAL KEHIDUPAN BERUMAH TANGGA
Menikah merupakan sunnah para nabi dan para rasul, disamping sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan dan karunia nikmat dari Allah Azza wa Jalla. Melalui pernikahan, manusia yang berpasangan laki dan perempuan akan memulai menjalani kehidupan baru, yaitu kehidupan rumah tangga, yang menjadi dambaan setiap manusia di muka bumi ini. Demikian ini sudah sunnatullah, yang merupakan siklus kehidupannya sebelum semuanya berakhir, yaitu mendapatkan keturunan.
Di hadapan sepasang suami-istri tersebut mementang berbagai permasalahan yang harus dihadapi bersama. Permasalahan di dalam keluarga sangatlah kompleks dan saling berkaitan, antara satu dengan lainnya. Tidak hanya dari segi syari'at, dunia kesehatan pun akan dihadapinya serta akan mempengaruhi bagaimana syariat itu dijalaninya.
Bagi para calon pasangan yang akan memasuki bahtera rumah tangga, juga bagi mereka yang memulai menapaki kehidupan baru, perlu sedikit mengetahui beberapa hal berkaitan dengan celah-celah kesehatan yang akan mewarnai kehidupannya.
PASCA MENIKAH
Setelah prosesi pernikahan, pasangan baru yang biasa disebut pengantin baru, akan selalu mendapatkan perasaan yang penuh suka cita. Mungkin, masa inilah puncak keindahan dan dambaan setiap insan, baik laki-laki maupun wanita.
Di balik rasa kegembiraan ini, tidak sedikit keluhan yang dialami pasangan baru. Selain harus beradaptasi dalam hal kepribadian masing-masing, masalah kesehatan hampir selalu terjadi pada awal kehidupan barunya. Secara fisik, keluhan sering terjadi pada pihak wanita.
Beberapa hari, bahkan sampai beberapa bulan setelah menikah, sang istri yang sebelumnya masih perawan atau gadis, biasa akan mengeluh sakit di daerah farji, kemudian berlanjut mengeluh nyeri saat buang air kecil. Terkadang mengalami kesulitan buang air kecil. Lebih lanjut, bisa beresiko terkena infeksi saluran kencing, terutama mereka yang sebelumnya pernah mengidap penyakit ini. Tak ketinggalan nyeri pinggang dan punggung akan menyertai hai-hari baru sang istri.
16 Oktober 2009
Kajian Fiqih: Mengkombinasikan Niat
Banyak pertanyaan seputar menggabung ibadah, misalnya puasa membayar hutang (qadla) Ramadhan digabungkan dengan puasa Syawah enam hari. Sahkah ibadah seperti itu?
Para fuqoha membahas hal tersebut tersebut dalam masalah at-tasyriik fin niyyah (mengkombinasikan niyat). Imam Suyuthi dalam kitabnya yang sangat masyhur al-Ashbah wan Nadlair menyebutkan bahwa menggabung dua ibadah ada beberapa kriteria.
Kreiteria Pertama: meniatkan satu ibadah dengan disertai niat lain yang bukan ibadah dan tidak boleh dimasukkan dalam ibadah tersebut, seperti menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan lainnya, ini bisa menyebabkan haramnya sembelihan tadi, apalagi kalau ditujukan untuk tujuan syirik. Namun ada juga yang tidak membatalkan ibadah tadi, seperti berwudlu atau mandi namun dengan menertakan niat mendinginkan badan. Alasannya karena mendinginkan badan tadi meskipun tanpa niat juga tercapai dengan wudlu dan mandi, maka tidak mengurangi keikhlasan. Contoh lain masalah ini adalah puasa sunnah dengan tujuan pengobatan dan haji dengan tujuan berdagang. Ibnu Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala, namun Imam Ghozali mengatakan dilihat dari mana niat yang lebih banyak, kalau yang lebih besar adalah niat karena Allah maka tetap dapat pahala.
Kriteria Kedua: meniatkan satu ibadah dengan ibadah lain. Ini ada beberapa bentuk, pertama: menggabung ibadah fardlu dengan fardlu lain. Ini tidak sah kecuali beberapa masalah, yaitu haji qiran, dimana didalamnya digabung ibadah umrah wajib dan haji wajib. Contoh lain adalah mandi sambil menyelam dengan niat wudlu juga. Adapun menggabung sholat dhuhur dan ashar dalam satu amalan hukumnya tidak sah.
Kedua: menggabung ibadah fardlu dengan sunnah, ini ada yang sah dan ada yang tidak sah. Contoh yang sah adalah: ketika masuk masjid dan jamaah telah dimulai, kemudian kita niat sholat fardlu dan tahiyyatul masjid juga. Menurut mazhab Syafii keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus. Adapun contoh yang jadi adalah sunnahnya, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya. Pendapat Hanafi yang sah zakatnya.
Ada juga contoh yang sah fardlunya, seperti orang haji berniat fardlu dan wajib, padahal dia belum pernah haji maka yang jadi wajibnya.
Ketiga: menggabung dua ibadah sunnah. Hukumnya menurut mayoritas ulama sah. Qaffal diriwayatkan mengatakan hukumnya tidak sah. Contohnya seseorang mandi untuk shoat ied dan jum'at sekaligas karena kebetulan harinya bersamaan, ini sah untuk keduanya. Contoh lain orang masuk masjid dan sebentar lagi iqamah, lalu ia menggabung sholat qabliyah dan tahiyyatul masjid, ini sah menurut semua madzhab.
Madzhab Hanafi mengatakan boleh menggabung dua niat dalam satu ibadah, apabila ibadah itu masuk ibadah perantara seperti mandi. Adapun dalam ibadah yang substansi maka menggabung dua fardlu tidak boleh, seperti sholat empat waktu dengan niat dhuhur dan ashar.
Manggabung Qadla Ramadhan dan Sunnah Syawal
Permasalahan menggabung dua niyat dalam ssatu ibadah juga berlaku bagi mereka yang ingin melakukan puasa qadla Ramadhan sambil melakukan sunnah Syawal. Apakah puasanya sah?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Ada yang mengatakan jadi puasa qadla dan puasa syawalnya tidak sah. Ada yang mengatakan yang sah puasa sunnahnya dan hutangnya belum gugur. Bahkan ada yang mengatakan tidak sah keduanya dan amalnya sia-sia.
Namun demikian Imam Ramli salah seorang ulama besar madzhab Syafii berfatwa ketika ditanyai tentang seseroang yang qadla Ramadhan di bulan Syawal sambil niat puasa enam hari bulan Syawal apakah sah? Beliau menjawab, gugur baginya hutang puasa dan kalau dia berniat juga sunnah syawal maka baginya pahala puasa sunnah tersebut. Imam Ramli mengatakan bahwa itu pendapat beberapa ulama kontemporer.
Akhirnya, bagi yang mampu dan kuat, maka sebaiknya niat itu satu-satu. Artinya kalau mampu, maka puasa qadla dulu baru melakukan sunnah syawal. Atau kalau kurang mampu, maka puasa syawal dulu karena waktunya pendek hanya sebulan, lalu mengqadla Ramadhan di bulan lain karena waktunya fleksibel selama setahun hingga Ramadhan berikutnya. (Kalau terlambat terkena denda fidyah). Kalau merasa kurang mampu juga, maka baru bisa melirik pendapat imam Ramli tadi. Wallahu a'lam bissowab.
Disusun: Ustadz Muhammad Niam, LLM
Dari berbagai sumber
Para fuqoha membahas hal tersebut tersebut dalam masalah at-tasyriik fin niyyah (mengkombinasikan niyat). Imam Suyuthi dalam kitabnya yang sangat masyhur al-Ashbah wan Nadlair menyebutkan bahwa menggabung dua ibadah ada beberapa kriteria.
Kreiteria Pertama: meniatkan satu ibadah dengan disertai niat lain yang bukan ibadah dan tidak boleh dimasukkan dalam ibadah tersebut, seperti menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan lainnya, ini bisa menyebabkan haramnya sembelihan tadi, apalagi kalau ditujukan untuk tujuan syirik. Namun ada juga yang tidak membatalkan ibadah tadi, seperti berwudlu atau mandi namun dengan menertakan niat mendinginkan badan. Alasannya karena mendinginkan badan tadi meskipun tanpa niat juga tercapai dengan wudlu dan mandi, maka tidak mengurangi keikhlasan. Contoh lain masalah ini adalah puasa sunnah dengan tujuan pengobatan dan haji dengan tujuan berdagang. Ibnu Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala, namun Imam Ghozali mengatakan dilihat dari mana niat yang lebih banyak, kalau yang lebih besar adalah niat karena Allah maka tetap dapat pahala.
Kriteria Kedua: meniatkan satu ibadah dengan ibadah lain. Ini ada beberapa bentuk, pertama: menggabung ibadah fardlu dengan fardlu lain. Ini tidak sah kecuali beberapa masalah, yaitu haji qiran, dimana didalamnya digabung ibadah umrah wajib dan haji wajib. Contoh lain adalah mandi sambil menyelam dengan niat wudlu juga. Adapun menggabung sholat dhuhur dan ashar dalam satu amalan hukumnya tidak sah.
Kedua: menggabung ibadah fardlu dengan sunnah, ini ada yang sah dan ada yang tidak sah. Contoh yang sah adalah: ketika masuk masjid dan jamaah telah dimulai, kemudian kita niat sholat fardlu dan tahiyyatul masjid juga. Menurut mazhab Syafii keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus. Adapun contoh yang jadi adalah sunnahnya, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya. Pendapat Hanafi yang sah zakatnya.
Ada juga contoh yang sah fardlunya, seperti orang haji berniat fardlu dan wajib, padahal dia belum pernah haji maka yang jadi wajibnya.
Ketiga: menggabung dua ibadah sunnah. Hukumnya menurut mayoritas ulama sah. Qaffal diriwayatkan mengatakan hukumnya tidak sah. Contohnya seseorang mandi untuk shoat ied dan jum'at sekaligas karena kebetulan harinya bersamaan, ini sah untuk keduanya. Contoh lain orang masuk masjid dan sebentar lagi iqamah, lalu ia menggabung sholat qabliyah dan tahiyyatul masjid, ini sah menurut semua madzhab.
Madzhab Hanafi mengatakan boleh menggabung dua niat dalam satu ibadah, apabila ibadah itu masuk ibadah perantara seperti mandi. Adapun dalam ibadah yang substansi maka menggabung dua fardlu tidak boleh, seperti sholat empat waktu dengan niat dhuhur dan ashar.
Manggabung Qadla Ramadhan dan Sunnah Syawal
Permasalahan menggabung dua niyat dalam ssatu ibadah juga berlaku bagi mereka yang ingin melakukan puasa qadla Ramadhan sambil melakukan sunnah Syawal. Apakah puasanya sah?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Ada yang mengatakan jadi puasa qadla dan puasa syawalnya tidak sah. Ada yang mengatakan yang sah puasa sunnahnya dan hutangnya belum gugur. Bahkan ada yang mengatakan tidak sah keduanya dan amalnya sia-sia.
Namun demikian Imam Ramli salah seorang ulama besar madzhab Syafii berfatwa ketika ditanyai tentang seseroang yang qadla Ramadhan di bulan Syawal sambil niat puasa enam hari bulan Syawal apakah sah? Beliau menjawab, gugur baginya hutang puasa dan kalau dia berniat juga sunnah syawal maka baginya pahala puasa sunnah tersebut. Imam Ramli mengatakan bahwa itu pendapat beberapa ulama kontemporer.
Akhirnya, bagi yang mampu dan kuat, maka sebaiknya niat itu satu-satu. Artinya kalau mampu, maka puasa qadla dulu baru melakukan sunnah syawal. Atau kalau kurang mampu, maka puasa syawal dulu karena waktunya pendek hanya sebulan, lalu mengqadla Ramadhan di bulan lain karena waktunya fleksibel selama setahun hingga Ramadhan berikutnya. (Kalau terlambat terkena denda fidyah). Kalau merasa kurang mampu juga, maka baru bisa melirik pendapat imam Ramli tadi. Wallahu a'lam bissowab.
Disusun: Ustadz Muhammad Niam, LLM
Dari berbagai sumber
09 Oktober 2009
Sholat Istikhoroh
Bismillah,
Jabir bin abdillah radhiallahu 'anhu berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami sholat istikhoroh untuk memutuskan segala sesuatu perkara sebagaimana mengajari surat Al Qur-an. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Apabila seorang diantara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknay melakukan sholat sunnah (istikhoroh) 2 rakaat, kemudian bacalah doa ini
Doa shalat istikharah :
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.”
Jabir bin abdillah radhiallahu 'anhu berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami sholat istikhoroh untuk memutuskan segala sesuatu perkara sebagaimana mengajari surat Al Qur-an. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Apabila seorang diantara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknay melakukan sholat sunnah (istikhoroh) 2 rakaat, kemudian bacalah doa ini
Doa shalat istikharah :
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.”
22 Juni 2009
Ushul Fiqh 2 (الأحكام)
Telah kita pelajari mengenai definisi ushul fiqh dan faedahnya pada pembahasan sebelumnya (ushul fiqh 1).
Sekarang kita masuki pelajaran baru, yaitu tentang الأحكام (hukum). Berikut cuplikannya::)
Definisi:
Ahkam merupakan jama’ dari hukmu (حكم) secara bahasa artinya ketetapan (hukum).
Secara istilah adalah perkara-perkara yang ditetapkan oleh penetap syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang-orang yang dibebani) berupa tuntutan, pilihan, atau wadh’i (tanda-tanda)
Maksud perkataan kami "penetap syariat" adalah Al Qur’an dan As Sunnah.
Maksud berkataan kami “yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf” adalah yang berkaitan dengan perkara-perkara yang mencakup amalan-amalan mereka, baik perkataan ataupun perbuatan, yang sifatya melaksanakan ataupun meninggalkan. Maka hukum tidak mencakup perkara-perkara yang berkaitan dengan keyakinan, dan keyakinan tersebut tidak dinamakan hukum secara istilah ini.
Maksud perkataan kami “mukallaf” adalah orang-orang yang dibebani (syariat), tidak termasuk anak kecil dan orang gila.
Maksud kami “tuntutan” adalah yang bersifat perintah dan larangan, baik berupa keharusan ataupun keutamaan.
Maksud kami “pilihan” adalah yang sifatnya mubah (boleh).
Maksud kami "wadh’i (tanda-tanda) adalah yang menunjukkan kepada shahih (benar) atau fasid (rusak) nya suatu amalan, atau yang lainnya yang ditetapkan oleh syariat berupa tanda-tanda dan sifat-sifat yang menunjukkan pada terlaksana atau batalnya (suatu amalan).
Pembagian Hukum Syar'i:
Hukum syar’i terdiri menjadi 2 jenis, yaitu hukum taklifiyyah (pembebanan) dan wadh’iyah (tanda-tanda).
Hukum taklifiyyah ada 5:
1. Wajib
Secara bahasa artinya jatuh. Secara istilah, wajib adalah perkara-perkara yang diperintahkan oleh syariat yang harus dilaksanakan, contohnya sholat lima waktu.
Perkataan kami “perkara-perkara yang diperintahkan” tidak memasukkan haram, makruh, dan mubah.
Perkataan kami “yang harus dilaksanakan” tidak memasukkan mandub (sunnah).
Wajib adalah yang diberi pahala orang yang melakukannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan berhak mendapat azab bagi yang meninggalkannya.
Wajib juga dinamakan fardhu, faridhoh, atau lazim.
2. Mandub (Sunnah)
Secara bahasa artinya yang diseru. Secara istilah adalah perkara-perkara yang diperintahkan oleh syariat yang tidak mesti dilaksanakan, contohnya sholat sunnah rawatib.
Perkataan kami “perkara-perkara yang diperintahkan” tidak memasukkan haram, makruh, dan mubah.
Perkataan kami “yang tidak mesti dilaksanakan” tidak memasukkan wajib.
Mandub (sunnah) adalah yang di beri pahala orang yang melakukannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan tidak diazab bagi yang meninggalkannya.
3. Haram
Secara bahasa artinya yang dilarang. Secara istilah adalah perkara-perkara yang dilarang oleh syariat yang harus ditinggalkan, contohnya durhaka kepada orangtua.
Perkataan kami “perkara-perkara yang dilarang” tidak memasukkan wajib, mandub, dan mubah.
Perkataan kami “yang harus ditinggalkan” tidak memasukkan makruh.
Haram adalah yang diberi pahala orang yang meningggalkannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan berhak mendapat azab bagi yang melakukannya.
4. Makruh
Secara bahasa artinya yang dibenci. Secara istilah adalah perkara-perkara yang dilarang oleh syariat yang tidak mesti ditinggalkan, contohnya mengambil dan memberi sesuatu dengan tangan kiri.
Perkataan kami “perkara-perkara yang dilarang” tidak memasukkan wajib, mandub, dan mubah.
Perkataan kami “yang tidak mesti ditinggalkan” tidak memasukkan haram.
Makruh adalah yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan tidak mendapat azab bagi yang melakukannya.
5. Mubah (boleh)
Secara bahasa artinya yang diizinkan. Secara istilah adalah perkara-perkara yang tidak ada kaitannya dengan perintah dan larangan secara zatnya, contohnya makan di malam Bulan Ramadhan.
Perkataan kami “yang tidak ada kaitannya dengan perintah” tidak memasukkan wajib dan mandub.
Perkataan kami “dan larangan” tidak memasukkan haram dan makruh.
Perkataan kami “secara zatnya” yaitu jika seandainya hal tersebut menjadi wasilah (perantara) bagi perkara wajib atau menjadi wasilah (perantara) bagi perkara haram, maka hal tersebut mempunyai hukum sesuai dengan perkara yang diwasilahkannya. Akan tetapi, tidak mengeluarkannya dari hukum mubah secara asal.
Perkara mubah tersebut selama sifat masih mubah, maka tidak berkonsekuensi mendapat pahala atau azab.
Mubah juga dinamakan halal atau boleh.
InsyaAllah bersambung ke part 3 : hukum-hukum wadh'iyah (الأحكام الوضعية).
Pertanyaan untuk dijawab sendiri:
1. Mengapa ahkam (hukum) dibahas di dalam ushul fiqh?
2. Apa definisi hukum secara bahasa dan istilah? jelaskan!
3. Sebutkan dua jenis hukum syar'i!
4. Apa definisi hukum taklifiyyah? dan jelaskan perinciannya!
Nantikan pembahasan tentang hukum wadh'iyah dan bedanya dengan hukum taklifiyyah.
by : Belajar Ushul Fiqh
Sekarang kita masuki pelajaran baru, yaitu tentang الأحكام (hukum). Berikut cuplikannya::)
Definisi:
Ahkam merupakan jama’ dari hukmu (حكم) secara bahasa artinya ketetapan (hukum).
Secara istilah adalah perkara-perkara yang ditetapkan oleh penetap syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang-orang yang dibebani) berupa tuntutan, pilihan, atau wadh’i (tanda-tanda)
Maksud perkataan kami "penetap syariat" adalah Al Qur’an dan As Sunnah.
Maksud berkataan kami “yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf” adalah yang berkaitan dengan perkara-perkara yang mencakup amalan-amalan mereka, baik perkataan ataupun perbuatan, yang sifatya melaksanakan ataupun meninggalkan. Maka hukum tidak mencakup perkara-perkara yang berkaitan dengan keyakinan, dan keyakinan tersebut tidak dinamakan hukum secara istilah ini.
Maksud perkataan kami “mukallaf” adalah orang-orang yang dibebani (syariat), tidak termasuk anak kecil dan orang gila.
Maksud kami “tuntutan” adalah yang bersifat perintah dan larangan, baik berupa keharusan ataupun keutamaan.
Maksud kami “pilihan” adalah yang sifatnya mubah (boleh).
Maksud kami "wadh’i (tanda-tanda) adalah yang menunjukkan kepada shahih (benar) atau fasid (rusak) nya suatu amalan, atau yang lainnya yang ditetapkan oleh syariat berupa tanda-tanda dan sifat-sifat yang menunjukkan pada terlaksana atau batalnya (suatu amalan).
Pembagian Hukum Syar'i:
Hukum syar’i terdiri menjadi 2 jenis, yaitu hukum taklifiyyah (pembebanan) dan wadh’iyah (tanda-tanda).
Hukum taklifiyyah ada 5:
1. Wajib
Secara bahasa artinya jatuh. Secara istilah, wajib adalah perkara-perkara yang diperintahkan oleh syariat yang harus dilaksanakan, contohnya sholat lima waktu.
Perkataan kami “perkara-perkara yang diperintahkan” tidak memasukkan haram, makruh, dan mubah.
Perkataan kami “yang harus dilaksanakan” tidak memasukkan mandub (sunnah).
Wajib adalah yang diberi pahala orang yang melakukannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan berhak mendapat azab bagi yang meninggalkannya.
Wajib juga dinamakan fardhu, faridhoh, atau lazim.
2. Mandub (Sunnah)
Secara bahasa artinya yang diseru. Secara istilah adalah perkara-perkara yang diperintahkan oleh syariat yang tidak mesti dilaksanakan, contohnya sholat sunnah rawatib.
Perkataan kami “perkara-perkara yang diperintahkan” tidak memasukkan haram, makruh, dan mubah.
Perkataan kami “yang tidak mesti dilaksanakan” tidak memasukkan wajib.
Mandub (sunnah) adalah yang di beri pahala orang yang melakukannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan tidak diazab bagi yang meninggalkannya.
3. Haram
Secara bahasa artinya yang dilarang. Secara istilah adalah perkara-perkara yang dilarang oleh syariat yang harus ditinggalkan, contohnya durhaka kepada orangtua.
Perkataan kami “perkara-perkara yang dilarang” tidak memasukkan wajib, mandub, dan mubah.
Perkataan kami “yang harus ditinggalkan” tidak memasukkan makruh.
Haram adalah yang diberi pahala orang yang meningggalkannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan berhak mendapat azab bagi yang melakukannya.
4. Makruh
Secara bahasa artinya yang dibenci. Secara istilah adalah perkara-perkara yang dilarang oleh syariat yang tidak mesti ditinggalkan, contohnya mengambil dan memberi sesuatu dengan tangan kiri.
Perkataan kami “perkara-perkara yang dilarang” tidak memasukkan wajib, mandub, dan mubah.
Perkataan kami “yang tidak mesti ditinggalkan” tidak memasukkan haram.
Makruh adalah yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan tidak mendapat azab bagi yang melakukannya.
5. Mubah (boleh)
Secara bahasa artinya yang diizinkan. Secara istilah adalah perkara-perkara yang tidak ada kaitannya dengan perintah dan larangan secara zatnya, contohnya makan di malam Bulan Ramadhan.
Perkataan kami “yang tidak ada kaitannya dengan perintah” tidak memasukkan wajib dan mandub.
Perkataan kami “dan larangan” tidak memasukkan haram dan makruh.
Perkataan kami “secara zatnya” yaitu jika seandainya hal tersebut menjadi wasilah (perantara) bagi perkara wajib atau menjadi wasilah (perantara) bagi perkara haram, maka hal tersebut mempunyai hukum sesuai dengan perkara yang diwasilahkannya. Akan tetapi, tidak mengeluarkannya dari hukum mubah secara asal.
Perkara mubah tersebut selama sifat masih mubah, maka tidak berkonsekuensi mendapat pahala atau azab.
Mubah juga dinamakan halal atau boleh.
InsyaAllah bersambung ke part 3 : hukum-hukum wadh'iyah (الأحكام الوضعية).
Pertanyaan untuk dijawab sendiri:
1. Mengapa ahkam (hukum) dibahas di dalam ushul fiqh?
2. Apa definisi hukum secara bahasa dan istilah? jelaskan!
3. Sebutkan dua jenis hukum syar'i!
4. Apa definisi hukum taklifiyyah? dan jelaskan perinciannya!
Nantikan pembahasan tentang hukum wadh'iyah dan bedanya dengan hukum taklifiyyah.
by : Belajar Ushul Fiqh
21 Juni 2009
Tauhid sebagai pondasi
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ: عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُُ، وإِقَامِ الصَّلاَةِ، وإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَالْحَجِّ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Islam dibangun atas lima rukun: Allah Subhanahu wa Ta'ala ditauhidkan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no.8, Kitabul Iman, Bab Du’a`ukum Imanukum, dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 16, Kitabul Iman, Bab Bayani Arkanil Islami wa Da’a`imihil ‘Izhami. Lafadz ini milik Al-Imam Muslim. Juga diriwayatkan oleh Al-Hafidz Al-Mizzi dalam kitabnya Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf (7047) menggolongkannya hadits ini dalam hadits-hadits yang Al-Imam Muslim menyendiri dalam periwayatannya.
Tambahan yang terdapat dalam Shahih Muslim:
فَقَالَ رَجُلٌ: الْحَجِّ وَصِيَامِ رَمَضَانَ؟ قَالَ: لاَ، صِيَامِ رَمَضَانَ وَاْلحَجِّ؛ هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ
Seseorang bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma (setelah penyebutan hadits di atas): “Haji dan puasa Ramadhan?” Beliau menjawab (menyanggah): “Bukan, puasa Ramadhan dan haji. Demikianlah aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh Abu Bakr Al-Baghdadi menyebutkan dalam kitabnya Al-Asma` Al-Mubhamah, nama orang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam hadits ini adalah Yazid bin Bisyr As-Saksaki.
Penjelasan Hadits dan Makna Tauhid
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang dijadikan bukti oleh para ulama dalam memaparkan dalil-dalil tauhid. Lafadz yang menjadi penguat (bukti) dalam masalah ini adalah:
عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُ
Maknanya: “Agar Allah ditauhidkan.”
Adapun makna tauhid, secara bahasa diambil dari kata:
وَحَّدَ الشَيْءَ إِذَا جَعَلَهُ وَاحِدًا
Maknanya: mentauhidkan sesuatu, jika menjadikannya satu.
Secara syariat bermakna: Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu yang menjadi kekhususan-Nya, baik pada perkara Rububiyah, Uluhiyyah, maupun Al-Asma` was Shifat.
Rububiyah artinya penciptaan alam , kepemilikan serta pengaturannya. Uluhiyah artinya ibadah, sementara Asma dan Sifat artinya nama-nama Allah serta sifat-sifat-Nya yang sangat baik dan agung sebagaimana yang Allah tetapkan dalam kitab-Nya atau yang Rasul-Nya tetapkan dalam haditsnya (lihat Al Qaulul Mufid 1/hal 9,14,16 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
Penyimpangan firqoh-firqoh sesat dalam mengartikan dan memahami tauhid
Ada beberapa kelompok yang sesat (batil) dan menyimpang, yang juga menyebut kebatilannya dengan "tauhid".
Kaum falasifah (penganut filsafat, yakni para pengikut Aristoteles dan Ibnu Sina) mendefinisikan tauhid dengan makna: menetapkan adanya (sesuatu) yang terlepas dari hakikat dan sifat. Dengan makna ini mereka berada pada puncak kekufuran dan penyimpangan.
Kaum Ittihadiyyah mendefinisikan tauhid dengan makna: kebenaran yang disucikan adalah yang diserupakan. Karenanya, antara Al-Khaliq (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) adalah sama, tidak ada bedanya. Dari definisi ini, Fir’aun dianggap sebagai seorang yang beriman dan sempurna imannya. Para penyembah patung dan berhala berada pada posisi yang benar. Tidaklah berbeda antara perintah dan larangan, antara air minum dan minuman keras.
Menurut kaum Jahmiyyah, tauhid adalah ingkar terhadap ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas makhluk-Nya dengan Dzat-Nya yang berada di atas ‘Arsy, mengingkari nama dan sifat-sifat-Nya, serta pengingkaran terhadap tauhid yang dengannya diutus para rasul.
Menurut kaum Qadariyah, tauhid adalah pengingkaran terhadap takdir (kekuasaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kehendak-Nya yang mencakup segala sesuatu.
Menurut kaum Jabriyah, tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara penciptaan dan perbuatan. Manusia bukanlah pelaku secara hakiki dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah berbuat karena adanya suatu hikmah dan tidak pula karena adanya suatu tujuan.
Sudah menjadi perkara yang diketahui di kalangan ahlul ilmi –dahulu maupun sekarang– bahwa tauhid yang diseru oleh para rasul adalah tauhid yang mengandung itsbat (penetapan) bahwa ibadah itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah dengan cara yang benar kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Demikian pula tauhid yang mengandung itsbat (penetapan) terhadap apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya, berupa nama dan sifat-sifat-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ
“Sesembahan kalian adalah Sesembahan Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاسْئَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحَمْنِ آلِهَةً يُعْبَدُوْنَ
“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: ‘Adakah Kami menentukan sesembahan-sesembahan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?’.” (Az-Zukhruf: 45)
Pasti, tidak akan didapatkan salah seorangpun dari mereka yang menyeru untuk menjadikan adanya sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, setiap rasul dari awal hingga yang terakhir, semuanya menyeru kepada: “Beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Maka, orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mempunyai dasar dan sandaran serta pijakan atas perbuatannya. Baik dari akal sehat maupun dari ajaran para rasul.
Dan bukanlah maksud dalam mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sekedar meyakini Rububiyyah-Nya semata. Yaitu bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat Pencipta, Pengatur segala urusan, Pemberi Rizki, Dzat yang menghidupkan, mematikan, menyembuhkan, menolak petaka, dan mendatangkan manfaat.
Jika ini semata yang dimaksud, maka orang-orang kafir musyrikin Quraisy telah mencapai gelar Ahlut Tauhid. Adakah orang yang berakal akan mengatakan bahwa orang-orang kafir musyrikin Quraisy telah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar?! Akankah merasa aman (dari azab dan siksaan), jika mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya sebatas pada Rububiyyah-Nya saja?!
Benar! Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan bahwa kebanyakan mereka telah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu, mengimani (mentauhidkan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal Rububiyyah-Nya. Akan tetapi, ikrar mereka dalam perkara ini menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat, manakala tercampuri kesyirikan.
Seperti yang dipahami oleh ahlul kalam (penganut filsafat) dan tasawwuf (sufi), tauhid menurut mereka adalah sekedar Tauhid Rububiyyah. Maknanya, keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya pencipta alam. Mereka menyangka, apabila telah menetapkan perkara ini dengan dalil berarti telah menetapkan puncak segalanya dalam perkara tauhid. Apabila telah menyaksikan dan tahu secara detail berarti telah membidangi puncak segalanya dalam perkara tauhid.
Kebanyakan orang mengira, makna "ilah" ialah Yang mampu menciptakan, membuat yang tak pernah ada sebelumnya. Inilah makna yang paling khusus terhadap sifat ilah. Mereka menjadikan penetapan seperti ini sebagai puncak segalanya dalam perihal tauhid. Jika demikian, mereka sama sekali tidak mengetahui hakikat (inti) perkara tauhid, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul.
Tidakkah seorang memahami dan menyadari bahwa mengikrarkan seperti yang telah diikrarkan oleh orang-orang musyrikin, tidak menjadikan imannya bermanfaat? Orang-orang musyrikin Arab telah mengikrarkan hal ini, namun bersamaan dengan itu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ayat yang menunjukkan dalam hal ini adalah:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ
“Dan kebanyakan dari mereka tidaklah beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (Yusuf: 106)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Meskipun mereka mengikrarkan dalam rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni bahwa Dia adalah Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur segala urusan, namun mereka juga mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perihal uluhiyah dan pentauhidan-Nya. Orang yang berada pada keadaan ini (yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya sebatas dalam rububiyyah-Nya saja), dan merasa aman dengannya, tidaklah tersisi bagi mereka kecuali tinggal ditimpakan kepada mereka azab dan siksaan yang datang secara mendadak.”
Hadits lain yang menjadi dalil tauhid adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke Yaman.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ تَعَالَى
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Maka, pertama kali seruanmu kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan (mengesakan) Allah….” (HR. Al-Bukhari dalam At-Tauhid no. 6937 dan ini adalah lafadznya, Muslim dalam Al-Iman nomor khusus 30 dan 31 dan pada no. 19)
Tidak mungkin pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz agar menjadikan tauhid sebagai seruan yang harus diutamakan dalam dakwah, jika hanya bermakna tauhid rububiyyah.
Pembagian Tauhid Menurut Ahlus Sunnah
Terdapat perbedaan dalam pembagian tauhid oleh para ulama. Ada yang membagi menjadi tiga pembagian:
1. Tauhid Ar-Rububiyyah. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala (beriman bahwa Ia adalah Dzat Yang Esa) dalam perbuatan-perbuatan-Nya (penciptaan, perintah, pemberian rizki, pengatur urusan atas hamba-hamba-Nya) dengan kehendak-Nya, berdasarkan ilmu dan kekuasaan-Nya.
2. Tauhid Al-Uluhiyyah. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan para hamba (seluruh jenis ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, hanya Dia yang berhak diibadahi, dan tidak ada sekutu bagi-Nya).
3. Tauhid Al-Asma` was Shifat. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menetapkan nama yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menetapkan sifat yang telah Ia tetapkan untuk diri-Nya, atau yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya, tanpa mentakyif (mereka-reka atau menanyakan bagaimana), menyerupakan, memalingkan (baik lafadz maupun makna) dan tidak pula menta’thil (menolak, meniadakan).
Ada pula yang menambahkan sehingga menjadi empat:
1. Tauhid Ar-Rububiyah
2. Tauhid Al-Uluhiyyah
3. Tauhid Al-Asma’ was Shifat
4. Tauhid Al-Mutaba’ah (menjadikan satu-satunya yang diikuti dan diteladani adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ada pula yang membagi dua:
1. Tauhid fi Al-Ma’rifat wal Itsbat (tauhid dalam mengenal dan menetapkan)
Yaitu mengimani nama-nama Allah, sifat-sifat dan Dzat-Nya. Juga mengimani penciptaan, pemberian rizki, dan pengaturan urusan hamba-hamba-Nya. Sehingga tauhid ini mengandung dua jenis tauhid, Rububiyah dan Asma` wash Shifat.
2. Tauhid fi Al-Qashd wa Ath-Thalab (tauhid dalam tujuan dan meminta).
Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam tujuan (niat) permintaan, shalat, puasa, dan seluruh ibadah. Tidaklah engkau bermaksud dengan ibadahmu kecuali wajah-Nya. Demikian pula sedekah dan seluruh amalanmu yang engkau dengannya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah ditujukan kecuali mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pembagian ini disandarkan kepada Ibnul Qayyim, sebagaimana tersebut dalam kitab Madarijus Salikin dan Ijtima’ Al-Juyusy. Demikian pula Ibnu Abil ‘Izz dalam kitabnya Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah.
Tauhid Al-Uluhiyyah juga mempunyai beberapa nama lain: Tauhid fil Qashd wat Thalab, Tauhid fil Iradah wal Qashd, At-Tauhid Al-Qashdi wal Iradi, At-Tauhid fil Iradah wal ‘Amal, Tauhidul ‘Amal, At-Tauhid Al-‘Amali, At-Tauhid Al-Fi’li, At-Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi.
Demikianlah macam-macam tauhid. Tidaklah bertentangan antara satu dengan yang lain. Istilah dan ungkapan yang berbeda dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Tujuan kita hanyalah untuk mengetahui apa itu tauhid yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, dan karenanya terjadi pertentangan antara para rasul dengan umatnya, yaitu tauhid ibadah (Tauhid Al-Uluhiyyah).
Pembagian ulama dalam hal ini tidaklah dikategorikan kepada perkara yang bid’ah (baru), yang tidak dikenal oleh para sahabat. Di antara alasan yang menjadikan para ulama untuk membagi tauhid adalah adanya pengikraran terhadap salah satu jenis tauhid oleh orang-orang musyrikin yaitu Tauhid Ar-Rububiyah. Sehingga bagi siapapun yang telah mengikrarkan tauhid tetapi hanya sekedar Tauhid Ar-Rububiyah, tidakah dianggap menjadi seorang yang telah menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak kepada selain-Nya, berdoa hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kepada selain-Nya, berharap dan takut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kepada selain-Nya.
Demikian pula berdasarkan pengkajian dan pendalaman terhadap Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, didapatkan pembagian tauhid seperti tersebut di atas.
Beberapa perkara yang menunjukkan pentingnya penekanan dakwah kepada tauhid adalah:
1. Al-Qur`an dari awal surat hingga akhirnya berisikan tauhid.
2. Tauhid merupakan dakwah seluruh rasul dari yang awal hingga yang terakhir.
3. Banyaknya kesalahan dan penyimpangan yang terjadi pada manusia secara umum adalah dalam perkara tauhid.
4. Mulianya ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari. Tauhid adalah ilmu yang mempelajari pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa nama, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dengan demikian tidak diragukan, tauhid merupakan ilmu yang paling mulia.
Wallahu a’lam bish showwab
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabatnya radiyallahu anhum ajmain dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Mu.
Maraji’:
1. Fathul Bari bi Syarhi Shahihul Bukhari, cet. Darul Hadits
2. Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, cet. Darul Ma’rifah
3. Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, cet. Darul Fikr
4. Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, cet. Darul ‘Ashimah
5. Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, cet. Maktabah Al-Irsyad
6. Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Manan, cet. Muassassah Ar-Risalah
Penulis Asli: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=445
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Islam dibangun atas lima rukun: Allah Subhanahu wa Ta'ala ditauhidkan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no.8, Kitabul Iman, Bab Du’a`ukum Imanukum, dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 16, Kitabul Iman, Bab Bayani Arkanil Islami wa Da’a`imihil ‘Izhami. Lafadz ini milik Al-Imam Muslim. Juga diriwayatkan oleh Al-Hafidz Al-Mizzi dalam kitabnya Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf (7047) menggolongkannya hadits ini dalam hadits-hadits yang Al-Imam Muslim menyendiri dalam periwayatannya.
Tambahan yang terdapat dalam Shahih Muslim:
فَقَالَ رَجُلٌ: الْحَجِّ وَصِيَامِ رَمَضَانَ؟ قَالَ: لاَ، صِيَامِ رَمَضَانَ وَاْلحَجِّ؛ هَكَذَا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ
Seseorang bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma (setelah penyebutan hadits di atas): “Haji dan puasa Ramadhan?” Beliau menjawab (menyanggah): “Bukan, puasa Ramadhan dan haji. Demikianlah aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh Abu Bakr Al-Baghdadi menyebutkan dalam kitabnya Al-Asma` Al-Mubhamah, nama orang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam hadits ini adalah Yazid bin Bisyr As-Saksaki.
Penjelasan Hadits dan Makna Tauhid
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang dijadikan bukti oleh para ulama dalam memaparkan dalil-dalil tauhid. Lafadz yang menjadi penguat (bukti) dalam masalah ini adalah:
عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُ
Maknanya: “Agar Allah ditauhidkan.”
Adapun makna tauhid, secara bahasa diambil dari kata:
وَحَّدَ الشَيْءَ إِذَا جَعَلَهُ وَاحِدًا
Maknanya: mentauhidkan sesuatu, jika menjadikannya satu.
Secara syariat bermakna: Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu yang menjadi kekhususan-Nya, baik pada perkara Rububiyah, Uluhiyyah, maupun Al-Asma` was Shifat.
Rububiyah artinya penciptaan alam , kepemilikan serta pengaturannya. Uluhiyah artinya ibadah, sementara Asma dan Sifat artinya nama-nama Allah serta sifat-sifat-Nya yang sangat baik dan agung sebagaimana yang Allah tetapkan dalam kitab-Nya atau yang Rasul-Nya tetapkan dalam haditsnya (lihat Al Qaulul Mufid 1/hal 9,14,16 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
Penyimpangan firqoh-firqoh sesat dalam mengartikan dan memahami tauhid
Ada beberapa kelompok yang sesat (batil) dan menyimpang, yang juga menyebut kebatilannya dengan "tauhid".
Kaum falasifah (penganut filsafat, yakni para pengikut Aristoteles dan Ibnu Sina) mendefinisikan tauhid dengan makna: menetapkan adanya (sesuatu) yang terlepas dari hakikat dan sifat. Dengan makna ini mereka berada pada puncak kekufuran dan penyimpangan.
Kaum Ittihadiyyah mendefinisikan tauhid dengan makna: kebenaran yang disucikan adalah yang diserupakan. Karenanya, antara Al-Khaliq (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) adalah sama, tidak ada bedanya. Dari definisi ini, Fir’aun dianggap sebagai seorang yang beriman dan sempurna imannya. Para penyembah patung dan berhala berada pada posisi yang benar. Tidaklah berbeda antara perintah dan larangan, antara air minum dan minuman keras.
Menurut kaum Jahmiyyah, tauhid adalah ingkar terhadap ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas makhluk-Nya dengan Dzat-Nya yang berada di atas ‘Arsy, mengingkari nama dan sifat-sifat-Nya, serta pengingkaran terhadap tauhid yang dengannya diutus para rasul.
Menurut kaum Qadariyah, tauhid adalah pengingkaran terhadap takdir (kekuasaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kehendak-Nya yang mencakup segala sesuatu.
Menurut kaum Jabriyah, tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara penciptaan dan perbuatan. Manusia bukanlah pelaku secara hakiki dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah berbuat karena adanya suatu hikmah dan tidak pula karena adanya suatu tujuan.
Sudah menjadi perkara yang diketahui di kalangan ahlul ilmi –dahulu maupun sekarang– bahwa tauhid yang diseru oleh para rasul adalah tauhid yang mengandung itsbat (penetapan) bahwa ibadah itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah dengan cara yang benar kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Demikian pula tauhid yang mengandung itsbat (penetapan) terhadap apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya, berupa nama dan sifat-sifat-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ
“Sesembahan kalian adalah Sesembahan Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاسْئَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُوْنِ الرَّحَمْنِ آلِهَةً يُعْبَدُوْنَ
“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: ‘Adakah Kami menentukan sesembahan-sesembahan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?’.” (Az-Zukhruf: 45)
Pasti, tidak akan didapatkan salah seorangpun dari mereka yang menyeru untuk menjadikan adanya sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, setiap rasul dari awal hingga yang terakhir, semuanya menyeru kepada: “Beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Maka, orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mempunyai dasar dan sandaran serta pijakan atas perbuatannya. Baik dari akal sehat maupun dari ajaran para rasul.
Dan bukanlah maksud dalam mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sekedar meyakini Rububiyyah-Nya semata. Yaitu bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat Pencipta, Pengatur segala urusan, Pemberi Rizki, Dzat yang menghidupkan, mematikan, menyembuhkan, menolak petaka, dan mendatangkan manfaat.
Jika ini semata yang dimaksud, maka orang-orang kafir musyrikin Quraisy telah mencapai gelar Ahlut Tauhid. Adakah orang yang berakal akan mengatakan bahwa orang-orang kafir musyrikin Quraisy telah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar?! Akankah merasa aman (dari azab dan siksaan), jika mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya sebatas pada Rububiyyah-Nya saja?!
Benar! Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan bahwa kebanyakan mereka telah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu, mengimani (mentauhidkan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal Rububiyyah-Nya. Akan tetapi, ikrar mereka dalam perkara ini menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat, manakala tercampuri kesyirikan.
Seperti yang dipahami oleh ahlul kalam (penganut filsafat) dan tasawwuf (sufi), tauhid menurut mereka adalah sekedar Tauhid Rububiyyah. Maknanya, keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya pencipta alam. Mereka menyangka, apabila telah menetapkan perkara ini dengan dalil berarti telah menetapkan puncak segalanya dalam perkara tauhid. Apabila telah menyaksikan dan tahu secara detail berarti telah membidangi puncak segalanya dalam perkara tauhid.
Kebanyakan orang mengira, makna "ilah" ialah Yang mampu menciptakan, membuat yang tak pernah ada sebelumnya. Inilah makna yang paling khusus terhadap sifat ilah. Mereka menjadikan penetapan seperti ini sebagai puncak segalanya dalam perihal tauhid. Jika demikian, mereka sama sekali tidak mengetahui hakikat (inti) perkara tauhid, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul.
Tidakkah seorang memahami dan menyadari bahwa mengikrarkan seperti yang telah diikrarkan oleh orang-orang musyrikin, tidak menjadikan imannya bermanfaat? Orang-orang musyrikin Arab telah mengikrarkan hal ini, namun bersamaan dengan itu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ayat yang menunjukkan dalam hal ini adalah:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُوْنَ
“Dan kebanyakan dari mereka tidaklah beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (Yusuf: 106)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Meskipun mereka mengikrarkan dalam rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni bahwa Dia adalah Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur segala urusan, namun mereka juga mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perihal uluhiyah dan pentauhidan-Nya. Orang yang berada pada keadaan ini (yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya sebatas dalam rububiyyah-Nya saja), dan merasa aman dengannya, tidaklah tersisi bagi mereka kecuali tinggal ditimpakan kepada mereka azab dan siksaan yang datang secara mendadak.”
Hadits lain yang menjadi dalil tauhid adalah hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke Yaman.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ تَعَالَى
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Maka, pertama kali seruanmu kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan (mengesakan) Allah….” (HR. Al-Bukhari dalam At-Tauhid no. 6937 dan ini adalah lafadznya, Muslim dalam Al-Iman nomor khusus 30 dan 31 dan pada no. 19)
Tidak mungkin pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz agar menjadikan tauhid sebagai seruan yang harus diutamakan dalam dakwah, jika hanya bermakna tauhid rububiyyah.
Pembagian Tauhid Menurut Ahlus Sunnah
Terdapat perbedaan dalam pembagian tauhid oleh para ulama. Ada yang membagi menjadi tiga pembagian:
1. Tauhid Ar-Rububiyyah. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala (beriman bahwa Ia adalah Dzat Yang Esa) dalam perbuatan-perbuatan-Nya (penciptaan, perintah, pemberian rizki, pengatur urusan atas hamba-hamba-Nya) dengan kehendak-Nya, berdasarkan ilmu dan kekuasaan-Nya.
2. Tauhid Al-Uluhiyyah. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan para hamba (seluruh jenis ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, hanya Dia yang berhak diibadahi, dan tidak ada sekutu bagi-Nya).
3. Tauhid Al-Asma` was Shifat. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menetapkan nama yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menetapkan sifat yang telah Ia tetapkan untuk diri-Nya, atau yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya, tanpa mentakyif (mereka-reka atau menanyakan bagaimana), menyerupakan, memalingkan (baik lafadz maupun makna) dan tidak pula menta’thil (menolak, meniadakan).
Ada pula yang menambahkan sehingga menjadi empat:
1. Tauhid Ar-Rububiyah
2. Tauhid Al-Uluhiyyah
3. Tauhid Al-Asma’ was Shifat
4. Tauhid Al-Mutaba’ah (menjadikan satu-satunya yang diikuti dan diteladani adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ada pula yang membagi dua:
1. Tauhid fi Al-Ma’rifat wal Itsbat (tauhid dalam mengenal dan menetapkan)
Yaitu mengimani nama-nama Allah, sifat-sifat dan Dzat-Nya. Juga mengimani penciptaan, pemberian rizki, dan pengaturan urusan hamba-hamba-Nya. Sehingga tauhid ini mengandung dua jenis tauhid, Rububiyah dan Asma` wash Shifat.
2. Tauhid fi Al-Qashd wa Ath-Thalab (tauhid dalam tujuan dan meminta).
Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam tujuan (niat) permintaan, shalat, puasa, dan seluruh ibadah. Tidaklah engkau bermaksud dengan ibadahmu kecuali wajah-Nya. Demikian pula sedekah dan seluruh amalanmu yang engkau dengannya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah ditujukan kecuali mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pembagian ini disandarkan kepada Ibnul Qayyim, sebagaimana tersebut dalam kitab Madarijus Salikin dan Ijtima’ Al-Juyusy. Demikian pula Ibnu Abil ‘Izz dalam kitabnya Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah.
Tauhid Al-Uluhiyyah juga mempunyai beberapa nama lain: Tauhid fil Qashd wat Thalab, Tauhid fil Iradah wal Qashd, At-Tauhid Al-Qashdi wal Iradi, At-Tauhid fil Iradah wal ‘Amal, Tauhidul ‘Amal, At-Tauhid Al-‘Amali, At-Tauhid Al-Fi’li, At-Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi.
Demikianlah macam-macam tauhid. Tidaklah bertentangan antara satu dengan yang lain. Istilah dan ungkapan yang berbeda dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Tujuan kita hanyalah untuk mengetahui apa itu tauhid yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, dan karenanya terjadi pertentangan antara para rasul dengan umatnya, yaitu tauhid ibadah (Tauhid Al-Uluhiyyah).
Pembagian ulama dalam hal ini tidaklah dikategorikan kepada perkara yang bid’ah (baru), yang tidak dikenal oleh para sahabat. Di antara alasan yang menjadikan para ulama untuk membagi tauhid adalah adanya pengikraran terhadap salah satu jenis tauhid oleh orang-orang musyrikin yaitu Tauhid Ar-Rububiyah. Sehingga bagi siapapun yang telah mengikrarkan tauhid tetapi hanya sekedar Tauhid Ar-Rububiyah, tidakah dianggap menjadi seorang yang telah menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak kepada selain-Nya, berdoa hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kepada selain-Nya, berharap dan takut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kepada selain-Nya.
Demikian pula berdasarkan pengkajian dan pendalaman terhadap Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, didapatkan pembagian tauhid seperti tersebut di atas.
Beberapa perkara yang menunjukkan pentingnya penekanan dakwah kepada tauhid adalah:
1. Al-Qur`an dari awal surat hingga akhirnya berisikan tauhid.
2. Tauhid merupakan dakwah seluruh rasul dari yang awal hingga yang terakhir.
3. Banyaknya kesalahan dan penyimpangan yang terjadi pada manusia secara umum adalah dalam perkara tauhid.
4. Mulianya ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari. Tauhid adalah ilmu yang mempelajari pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa nama, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dengan demikian tidak diragukan, tauhid merupakan ilmu yang paling mulia.
Wallahu a’lam bish showwab
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabatnya radiyallahu anhum ajmain dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Mu.
Maraji’:
1. Fathul Bari bi Syarhi Shahihul Bukhari, cet. Darul Hadits
2. Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, cet. Darul Ma’rifah
3. Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, cet. Darul Fikr
4. Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, cet. Darul ‘Ashimah
5. Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, cet. Maktabah Al-Irsyad
6. Taisir Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Manan, cet. Muassassah Ar-Risalah
Penulis Asli: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=445
Langganan:
Postingan (Atom)