(Ilmu itu sebelum berkata dan beramal)
Oleh Muhammad Yassir
Allah berfirman:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78)
Inilah keadaan gambaran manusia ketika pertama kali ia lahir ke dunia yang fana ini. Ia tidak mengetahui apa-apa, hanya menangis dan tidur yang bisa ia lakukan. Akan tetapi, Allah yang maha Pemurah memberikan kepadanya beberapa sarana dari anggota tubuhnya yang dapat dipergunakan untuk mengetahui banyak hal yang masih asing baginya.
Pendengaran, penglihatan, dan hati (akal). Inilah sarana yang sangat berperan dalam menuntut ilmu. Yaitu untuk mendengar, melihat, dan memahami ayat-ayat tanda kebesaran Allah dengan tujuan pada akahirnya manusia dapat mengetahui dan mewujudkan tujuan penciptaannya di muka bumi ini, yaitu beribadah semata-mata kepada Allah.
Allah telah memberi peringatan dan ancaman yang keras bagi manusia dan jin yang tidak menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hati mereka pada tempat semestinya yang diridhoi dan diperintahkan Allah, yaitu untuk mentauhidkannya. Mereka digambarkan bagaikan binatang ternak, bahkan lebih hina.
Di antara manusia ada yang mampu menggunakan sarana-sarana di anggota tubuhnya untuk menuntut ilmu syar'i yang digali dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Merekalah para ulama dan penuntut ilmu di jalan Allah.
Namun, berapapun banyaknya pembendaharaan ilmu yang dimiliki oleh manusia, seluas apapun bidang ilmu yang mampudikuasainya, hanyalah sedikit sekali dari pemberian Allah: Allah berfirman:
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit (Al-Isra:85)
Hendaklah seorang alim maupun penuntut ilmu mengetahui kadar ilmu yang ia miliki. Agar ia hanya berkata dan menjawab sebatas apa yang diketahuinya ketika ia memikul tangggung jawab untuk menjawab pertanyaan orang-orang awam. Selebihnya, ia hanya bisa menyerahkan kepada Allah dengan menjawab "Allahu A'lam (Allah lebih mengetahui)" atau "Saya tidak tahu".
Ucapan ini bukanlah menunjukkan kebodohan seseorang, tapi malah merupakan suatu sikap yang sangat terpuji dan mulia, akhlaq sunni yang diwariskan dari Rasulullah dan para Sahabat beliau, menunjukkan sifat wara' dan tawadhu' seseorang di hadapan syariat Allah. Karena, di atas orang alim ada yang lebih alim.
Telah mendahului kita para hamba Allah yang mulia dalam mengakui ketidaktahuannya. Beberapa contoh di antaranya:
1. Para malaikat.
Firman Allah Dalam Al-Quran:
Allah berkata kepada para malaikat, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar !"Para malaikat menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah: 31-32)
2. Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.
Firman Allah Dalam Al-Quran:
Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang yang mengada-ada."(shad: 86)
Ibnu Mas'ud berkata: "Barang siapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata dengan pengetahuannya itu. Sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia mengucapkan "Allahu A'lam (Allah lebih mengetahui)". Karena, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya: Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku), dan aku bukan termasuk orang-orang yang mengada-ada."
Begitu pula ketika Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam ditanya oleh Malaikat Jibril (dalam sebuah hadis yang panjang) tentang kapan terjadinya Hari Kiamat. Beliau menjawab:Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui daripada yang bertanya.(HR. Muslim)
3. Kisah para Sahabat Rasulullah dan para ulama yang berjalan mengikuti jejak mereka. Di antaranya:
- Abu Bakar. Beliau pernah ditanya tentang ayat-ayat Al-Quran. Beliau berkata: Bumi manakah yang akan menampungku, dan langit mana yang akan menaungiku (maksudnya kemanakah aku akan pergi melangkah), jika aku berkata tentang ayat-ayat dalam Kitab Allah, berbeda dengan maksud yang diinginkan Allah."
Beliau merasa khawatir untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tanpa ilmu.
- Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau menjawab "Saya tidak tahu". Kemudian beliau berkata lagi "Alangkah sejuknya hati ini" (tiga kali). Orang- orang bertanya: "Ya Amirul Mukminin, apa maksud perkataanmu itu ?". Beliau menjawab: "Yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab "Allahu A'lam".
- Ibnu Umar pernah ditanya: "Apakah bibi dari pihak bapak ikut mewarisi harta warisan ?". Beliau menjawab: "Saya tidak tahu". Yang bertanya menimpali: "Jadi anda tidak tahu dan kami pun tidak tahu ?". Ibnu Umar menjawab: "Ya, pergilah ke ulama-ulama di Madinah dan tanyailah mereka". Setelah orang yang bertanya tadi berlalu, Ibnu Umar mencium kedua tangannya seraya berkata: "Alangkah indahnya perkataan Abu Abdurrahman (Ibnu Umar) ketika ia ditanya yang tidak diketahuinya ia berkata ' Saya tidak tahu' ".
- Para Shahabat Rasulullah lainnya juga selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam yang tidak mereka ketahui dengan ucapan "Allahu wa Rasuluhu A'lam" (Allah dan Rasulullah lebih mengetahui)
Seperti kisah Umar bin Khattab ketika beliau ditanya Rasulullah tentang laki-laki berpakaian serba putih dan berambut hitam legam yang datang bertanya kepada Rasulullah masalah Islam, Iman, Ihsan, dan Hari Kiamat. Umar bin Khattab menjawab "Allahu wa Rasuluhu A'lam (Allah dan Rasulullah lebih mengetahui)
- Imam Asy-Sya'by pernah ditanya tentang sesuatu, beliau menjawab: "Saya tidak tahu". Tapi beliau malah ditanya lagi: "Apakah engkau tidak malu mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq ?". Asy-Sya'by menjawab: "Tetapi Malaikat tidak malu untuk berkata: 'Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami' ".
- Ibnu Wahb berkata: "Saya mendengar Imam Malik sering berkata 'saya tidak tahu', seandainya kami menulis ucapannya itu pasti akan memenuhi lembaran yang banyak."
Itulah ketawadhuan yang dimiliki oleh orang-orang yang terbaik dari umat ini, kemudian diwarisi oleh para ulama sesudah mereka. Mereka tidak segan untuk mengucapkan tidak tahu, dan tidak malu untuk mengucapkan Allahu A'lam.
Mereka sangat paham, bahwa ucapan itu tidak akan menurunkan derajat keilmuan mereka. Bahkan, ucapan itu menunjukkan keilmuan dan kefaqihan seseorang.
Karena, hanya orang-orang bodohlah yang berani berbicara tanpa dilandasi ilmu. Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesunggahnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara sekaligus. Tetapi,Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga, apabila tidaktersisa lagi orang alim, manusia mengangkat pemimpin yang bodoh, mereka ditanyai dan berfatwa tanpa didasari ilmu, mererka sesat lagi menyesatkan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Alangkah sangat memilukan pemandangan yang dapat kita saksikan di sekitar kita. Memasyarakatnya bid'ah dan menyebarnya kerancuan, salah satu penyebabnya adalah karena fatwa yang tidak didasari ilmu dari orang-orang yang diulamakan; dianggap cendekiawan; atau dijuluki pemikir Islam oleh mayarakat awam. Mungkin merasa gengsi untuk mengucapkan tidak tahu di depan para penggemarnya. Allahu Musta'an…… .
Marilah kita mengoreksi diri kita masing-masing, agar kita mengetahui kedudukan kita dibanding para sahabat Rasulullah dan ulama umat ini untuk berfatwa dalam syariat Allah. Mari kita ambil pelajaran dari nasehat Abu Dziyal: "Belajarlah mengucapkan 'saya tidak tahu', jangan kamu belajar mengucapkan 'saya tahu'. Karena, jika kamu mengatakan 'saya tidak tahu’, kamu akan diajarkan sampai kamu tahu. Tapi,kalau kamu mengatakan 'saya tahu', kamu akan terus ditanyai sampai akhirnya kamu mengucapkan 'tidak tahu' ".
Maraji': Hilyatul 'Alimil Mu'allim wa Bulghatut Thalibil Muta'allim, Salim Al-Hilaly.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar