30 Agustus 2009

Bolehkah Shalat 11 Rakaat Padahal Imam 23 Rakaat?

Bagaimana sikap saya shalat tarawih di belakang imam yang selalu shalat tarawih dengan 23 rakaat? Apakah harus mengikuti imam sampai selesai? Seperti dalam hadits “Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk“. Ataukah hanya mengikuti 10 rakaat saja kemudian keluar dari jamaah dan witir sendirian satu rakaat, atau hanya 8 rakaat kemudian witir sendirian 3 rakaat? Seandainya harus demikian (pertanyaan kedua dan ketiga)apakah sholat witirnya di masjid atau di rumah? Untuk diketahui, di lingkungan tinggal saya tidak ada satupun masjid/mushalla yang sholat tarawih dengan 11 rakaat.
Semoga Allah Ta’ala memudahkan ustadz dalam berbagai urusan. Terima kasih.

Abu Najwa
Alamat: Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Email: abunajwahaxxxx@yahoo.com

Al Akh Yulian Purnama menjawab:

Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau menjawab:

“Yang sesuai dengan sunnah adalah tetap mengikuti imam meski ia shalat 23 rakaat. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلة

“Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)
dalam lafazh yang lain:

بقية ليلته

“Ditulis baginya pahala shalat di sisa malamnya” (HR. Ahmad, no. 20474)
Maka yang paling afdhal bagi seorang ma’mum adalah mengikuti imam sampai imam selesai. Baik ia shalat 11 rakaat maupun 23 rakaat, atau jumlah rakaat yang lain. Inilah yang paling baik.

Selain itu, shalat tarawih 23 rakaat pernah dilakukan oleh Umar Radhiallahu’anhu dan sahabat yang lain. Dan ini bukanlah keburukan, bukan pula kebid’ahan, bahkan shalat tarawih 23 rakaat adalah sunnah Khulafa Ar Rasyidin. Hal ini memiliki dalil dari hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة توتر له ما قد صلى

“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datanya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil” (Muttafaqun ‘ilaihi)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi rakaat shalat malam dengan batasan jumlah tertentu, namun yang beliau katakan:

صلاة الليل مثنى مثنى

“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”

Namun memang lebih afdhal jika imam mengerjakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat. Karena inilah yang paling sering dipraktekan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada shalat malamnya. Alasan lain, karena shalat tarawih 11 atau 13 rakaat lebih sesuai dengan kondisi kebanyakan orang (tidak terlalu berat, pent) di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan. Namun bila ada yang melakukannya lebih dari itu, atau kurang dari itu, tidak masalah. Karena perkara rakaat tarawih adalah perkara yang longgar”. (http://www.ibnbaz.org.sa/mat/1028)

Demikian penjelasan beliau, jadi anda tidak perlu menyelisihi imam, tetaplah mengikuti imam sampai selesai agar mendapat pahala shalat semalam suntuk.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel UstadzKholid.Com

TAMPARAN ATAS 3 PERTANYAAN

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri, kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah, dia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang guru agama, Kyai atau siapa saja yang bisa menjawab tiga pertanyaannya. Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang kiyai.
(Pemuda): Anda siapa dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
(Kyai): Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda. (Pemuda) : Anda yakin? Sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
(Kyai): Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
(Pemuda) : Saya ada tiga pertanyaan: 1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya. 2. Apakah yang dinamakan takdir. 3. Kalau setan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat setan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berpikir sejauh itu? Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.
(Pemuda) : (sambil menahan sakit). Kenapa anda marah kepada saya?
(Kyai): Saya tidak marah. Tamparan itu adalah jawaban saya atas tiga pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
(Pemuda): Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
(Kyai) : Bagaimana rasanya tamparan saya?
(Pemuda): Tentu saja saya merasakan sakit.
(Kyai) : Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?
(Pemuda): Ya!
(Kyai): Tunjukkan pada saya wujud sakit itu!
(Pemuda): Saya tidak bisa. (Kyai): Itulah jawaban pertanyaan pertama kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
(Kyai) : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
(Pemuda): Tidak.
(Kyai) : Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini? (Pemuda) : Tidak.
(Kyai) : Itulah yang dinamakan takdir. Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
(Pemuda) : Kulit.
(Kyai) : Terbuat dari apa pipi anda?
(Pemuda): Kulit.
(Kyai) : Bagaimana rasanya tamparan saya?
(Pemuda): Sakit.
(Kyai): Walaupun setan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk setan.(sy/sbya)

Meluruskan sejarah Biografi Syeikh Abdul Qadir Jailani

Siapakah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani

Nama beliau adalah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i yang tinggal di Baghdad.
Kelahiran dan wafatnya beliau : Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy. (Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).
Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Masa muda beliau :
Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama' seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama'. Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.

Murid-murid beliau :
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama' terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.

Perkataan ulama tentang beliau :
Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, " kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu." Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).

Beliau adalah seorang 'alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan Imam Ibnu Rajab, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik 'ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah.

Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar”. Imam Ibnu Rajab bekata : ” Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far Al Adfwi (Nama lengkapnya ialah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang 'ulama bermadzhab Syafi'i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal.

Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah ." Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, " Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas 'arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu." Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata " Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' ( Allah berada diatas 'arsyNya ) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ).
Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah diatas arsys." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, " Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?" Maka beliau menjawab, " Tidak pernah ada dan tidak akan ada."( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516).

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.
Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan bekiau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi ".

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf."
(At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a'lam bishshawwab.

Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu'alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah shollallahu 'alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.

Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo'a kepada selain Allah,

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping ( menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para 'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari'ah.
Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Wallahu a'lam bishshawab

[Sumber : Majalah Assunnah Edisi 07/Tahun VI/1423H/2002M]

Awali persatuan umat Islam dengan meluruskan shaf!

Perintah untuk memperbagus lurusnya shaf (barisan)

Dari Abû Hurairoh Radhiyallâhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

أَحْسِنُوْا إِقَامَةَ الصُّفُوْفِ فِيْ الصَّلاَةِ

“Perbaguslah lurusnya shaf (barisan) ketika sholat” (HR Ahmad di dalam Musnad-nya dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albânî di dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb : 499)

Bagaimana cara memperbagus lurusnya shaf?

Hadits Jâbir bin Samuroh Radhiyallâhu ‘anhu menjelaskan hal ini. Beliau berkata : “Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami dan berkata :

مَالِيْ أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيْكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابَ خَيْلِ شُمُسٍ, أُسْكُنُوا فِيْ الصَّلاَةِ

“Aku tidak pernah melihat kalian mengangkat-angkat tangan kalian, seakan-akan seperti ekor kuda liar saja. Tenanglah kalian di dalam sholat (jangan bergerak).”

Jâbir berkata kembali : kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami (pada lain waktu) dan melihat kami sedang bergerombol, lantas beliau bersabda :

مَالِيْ أَرَاكُمْ عَزِيْنَ

“Aku tidak pernah melihat kalian bergerombol?!”

Jâbir melanjutkan : kemudian beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menemui kami sembari mengatakan :

أَلاَ تَصُفُّوْنَ كَمَا تَصُفُّ المَلاَئِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا

“Kenapa kalian tidak berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?”

Kami berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimanakah berbarisnya Malaikat di hadapan Rabb mereka?”

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab :

يَتُمُّوْنَ الصُّفُوْفَ الأَوَّلِ وَيَتَرَاصَّوْنَ فِيْ الصَّفِّ

“Mereka menyempurnakan shaf/barisan yang paling awal sembari merapatkan barisannya.” (HR Muslim : 430)

Jadi, memperbagus shaf itu tidak akan terwujud melainkan dengan menyempurnakan dan merapatkan barisannya.

Mari kita amati realita yang ada di hadapan kita, yaitu kebesaran para tentara angkatan darat beserta pasukan dan kekuatannya dari aspek militer, begitu bagus dan teraturnya pola barisan mereka. Anda tidak dapati adanya kebengkokan maupun cela padanya. Jarak satu dengan lainnya teratur rapi, sungguh pemandangan yang sungguh indah. Coba Anda perhatikan, orang yang mengamatinya, mereka sangat interes dan terkagum-kagum dibuatnya.

Adapun di sekolahan, jangan Anda tanyakan bagaimana perhatian mereka yang begitu besar di dalam masalah meluruskan, merapikan dan mengatur barisan. Bukankah para pemakmur Masjid itu seharusnya adalah orang yang lebih utama di dalam memberikan perhatian di dalam mengatur shaf dan merapatkan barisan, sebagaimana malaikat berbaris di hadapan Rab mereka Subhânahu wa Ta’âlâ?!

Kita tidak akan masuk surga sampai kita meluruskan shaf

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah bersumpah, bahwa kita tidaklah dikatakan beriman, dan kita tidak akan bisa masuk surga sampai kita saling mencintai di jalan Alloh Ta’âlâ. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abû Hurairoh Radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidaklah dikatakan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai?! Sebarkanlah salam di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim : 54)

Kecintaan ini tidak akan mudah jika tanpa merapatkan dan meluruskan shaf. Sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa ketidaklurusan shaf di dalam sholat itu, memicu perselisihan hati.

Kesimpulannya adalah, bahwasanya keimanan, surga, kecintaan dan persatuan, kesemuanya ini tidak akan mudah diraih melainkan dengan meluruskan dan merapatkan shaf.

Perhatian kita terhadap segala sesuatu yang bersifat lahiriah tidak lain adalah bentuk ketaatan, apalagi masalah meluruskan shaf.

Sungguh aneh kita ini, bagaimana kita bisa menaruh perhatian terhadap lahiriah perkara duniawi sedangkan kita tidak mau memperhatikan lahiriah urusan agama kita?! Saya tidak melihatnya melainkan hal ini berasal dari syaithan.

Saya tidak tahu apa yang akan mereka perbuat. Sekiranya ada nash-nash (dalil) yang mengharamkan untuk merapatkan dan meluruskan shaf, niscaya syaithan-syaithan dari golongan jin dan manusia akan berbondong-bondong untuk merapatkan shaf. Rapat dan lurusnya tidak akan pernah Anda lihat ada satupun yang menyamainya! Demikianlah keadaan mereka ini, Wallôhu a’lam. Jika tidak, lantas dimanakah segala sesuatu yang Alloh Ta’âlâ haramkan di dalam Kitab-Nya dan as-Sunnah, tidak Anda dapati di tengah-tengah manusia sebagai sesuatu yang lumrah dan dicintai?!

Lihatlah diri kita sendiri, bagaimana kita begitu mencintai lahiriah duniawi. Sungguh, kita akan lebih mencintai orang yang kaya walaupun ia seorang yang bodoh ketimbang kita mencintai orang yang fakir padahal ia berilmu! Kita lebih memilih berteman dengan orang yang kuat dan kita tinggalkan orang yang lemah!

Adakalanya, seorang manusia mau menginfakkan hartanya dalam jumlah besar hanya untuk suatu hal yang remeh supaya dikatakan : “Fulan telah berbuat ini dan itu”! Terkadang, orang yang bodoh dapat menyebabkan kita tertawa oleh sebab pakaiannya yang bagus, seorang penipu dapat mengelabui kita dengan tutur katanya yang manis dan seorang munafik dapat memikat kita dengan kepandaiannya bersilat lidah.

Adapula bentuk formalitas bagi para tamu dan pengunjung yang tidak boleh tidak, harus ada. Bagi yang menyelisihinya akan dicela dan dianggap aneh. Jika ada suatu kaum berada di majelis dan ada seseorang yang tidak berdiri (untuk menyambut dan menghormati mereka), mereka memprotes dan menghukumnya, sebab ia dianggap tidak menghormati dan menghargai mereka, dan mereka menganggapnya sebagai orang yang tidak faham etika bermasyarakat.

Jika dikatakan kepada mereka, “berjabat tangan dengan wanita asing dan wanita yang halal dinikahi (non mahram) adalah haram hukumnya.” Mereka menjawab, “hati-hati kami ini terjaga, bersih dan suci. Yang jadi patokan bukanlah masalah lahiriah seperti itu!” Namun, apabila ada seorang pemuda fakir yang bagus agama dan akhlaknya, bermaksud menikahi anak-anak puteri mereka, maka masalah lahiriyah menjadi patokan dengan begitu saja. Mereka tidak lagi butuh kepada bathin, harga diri dan kesucian hati pemuda itu. Yang penting, ia haruslah orang yang memiliki harta, jabatan dan kedudukan.

Apabila mereka diminta untuk merapatkan dan meluruskan shaf, mereka mengatakan, “yang menjadi ukuran adalah bathin, bukanlah dari faktor fisik.” Akan tetapi, keimanan mereka terhadap faktor fisik muncul ketika ada seseorang yang bermaksud meminang puteri mereka. Mereka akan menetapkan beberapa hal, mereka akan memasang tarif mahal untuk mahar, memperketat persyaratan, pakaian harus begini dan begitu, perabotan haruslah dengan harga yang selangit, pestanya haruslah meriah dan menarik sehingga mendapatkan pujian orang-orang dan tidak dicemooh!

Maka, dimanakah kebajikan bathin terhadap Tuhanmu dan keimananmu kepada-Nya tatkala Anda diseru untuk merapatkan shaf?! Dan dimanakah kekufuran mereka terhadap perkara-perkara fisik untuk meluruskan dan mengatur shaf? Ataukah ini merupakan hawa nafsu?! Semoga Alloh membinasakan hawa nafsu.

سُبْحَانَ رَبِّكَ كَيْفَ يَغْلَبُكَ الهَوَى سُبْحَانَهُ إِنَّ الهَوَى لَغَلُوْبُ

Maha Suci Rabb-mu, bagaimana kamu sampai dikalahkan oleh nawa nafsumu

Maha Suci Diri-Nya, sesungguhnya hawa nafsu itulah yang pasti akan terkalahkan

Apa seperti ini sikapmu wahai kaum? Perkara lahiriah yang Alloh kehendaki, cintai dan perintahkan, serta ia ancam orang yang meninggalkannya dengan malapetak dan bencana, namun Anda menjadikannya sebagai bahan senda gurau dan main-main?! Dan perkara-perkara lahiriah yang Alloh Subhânahu tidak izinkan, Anda malah menjadikannya sebagai syariat dan agama? Kejahatan apakah gerangan yang telah Anda lakukan, dan kesalahan apakah gerangan yang Anda perbuat?

Sungguh kami telah mengimani masalah meluruskan shaf ini dengan penuh keimanan. Hanya saja keimanan ini ada di luar masjid, bukan di dalamnya. Tidakkah anda melihat bersamaku bagaimana lurusnya barisan tentara dan di sekolah?!

Di sini ada yang mengatakan, “sesungguhnya, keteraturan barisan (di ketentaraan dan sekolahan) merupakan bentuk simbol kekuatan, ketertiban, ketaatan dan kemajuan! Namun keteraturan barisan di masjid hanyalah sebuah bentuk lahiriah belaka, masalah kulit yang remeh, yang tidak berguna dan tidak berfaidah!”

Untuk menyelesaikan urusan muamalah kita di kantor dan yayasan secara cepat, dan supaya terhindar dari problematika dan perselisihan, memang harus ada suatu peraturan dan keseragaman. Adapun perlunya kita mengimplementasikan hal ini di dalam Masjid, adalah untuk menghindarkan kita dari perpecahan dan perselisihan, yang mana hal ini sudah tidak perlu lagi ditanyakan, baik kepada orang yang lupa atau orang yang masa bodoh. Karena Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah menjanjikan hal ini.

Tidak meluruskan shaf akan menyebabkan perselisihan hati

Dari Abû Mas’ûd Radhiyallâhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

اسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُوْا قُلُوْبَكُمْ

“Luruskanlah shaf dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan hati kalian akan berselisih.” (HR Muslim : 432)

Kalimat pertama dalam hadits, yaitu “luruskanlah”, merupakan bentuk kalimat imperatif (perintah), dan kalimat imperatif itu menunjukkan kewajiban sampai ada qorînah (indikasi) lain yang memalingkan kewajibannya. Sedangkan indikasi yang menunjukkan kewajibannya ada banyak, diantaranya adalah hadits sebelumnya yang berbunyi : “Perbaguslah lurusnya shaf (barisan) ketika sholat.”

Diantaranya juga adalah penggalan hadits yang Anda lihat di atas, yaitu hadits yang melarang perselisihan, sebagaimana dalam sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam : “dan janganlah kalian berselisih”. Kalimat negasi/larangan menunjukkan keharamannya sampai ada indikasi yang memalingkannya. Dalam hadits ini, terhimpun kalimat perintah dan larangan sekaligus, yang mana satu dengan lainnya merupakan indikasi yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya.

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf dan memperingatkan dari tidak mematuhi perintahnya. Karena hal ini akan memicu perselisihan, sebagaimana di dalam hadits :

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ فَوَاللهِ لَتُقِيْمَنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ

“Luruskan shaf-shaf kalian. Dan demi Alloh, luruskanlah shaf-shaf kalian, atau jika tidak niscaya Alloh akan menjadikan hati kalian saling berseteru.” (Shahîh Sunan Abu Dâwud : 616)

Di dalam riwayat hadits yang lain :

أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“atau Alloh akan menjadikan wajah-wajah kalian saling bertikai.”

Huruf fa’ (فَ) pada hadits kata takhtalifu (تَخْتَلِفُ) disebut dengan Fa` as-Sababiyah (yang menunjukkan sebab), sehingga makna hadits menjadi : perselisihan lurusnya shaf (tidak lurusnya shaf) di dalam sholat merupakan sebab berselisihnya hati.

Lantas, betapa lancangnya seseorang yang berkata bahwa meluruskan shaf dan hadits yang membicarakan tentangnya akan memecah belah umat! Apakah mereka berada di dalam keraguan tentang hal ini?! Padahal Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah bersumpah kepada mereka dan beliau adalah orang yang jujur lagi dibenarkan, adakah kamu melihat mereka membenarkannya?

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah menegaskan hal ini dengan banyak penekanan di dalam nash hadits di atas dan selainnya, diantaranya adalah adanya Lâm dan Nûn Taukîd ats-Tsaqîlah (huruf lam dan nun yang berfungsi superlatif) di dalam dua kata : tuqîm (luruskanlah) dan yukholif (memalingkan), kemudian meng-‘athaf-kan (mengikutkan) taukîd (penegasan) dengan taukîd (penegasan), akan tetapi mereka pergi berlalu dengan mengabaikannya begitu saja. Bagaimana bisa mereka berijtihad padahal nash (dalil)-nya ada?!

Perkaranya tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan ijtihad mereka sampai merubah pemahaman yang benar lagi jelas. Padahal sesungguhnya, orang yang paling rendah pengetahuannya tentang fikih dan Bahasa Arab saja, sekiranya dia membaca hadits-hadits yang membicarakan masalah meluruskan shaf, niscaya dia akan dapat memahami bahwa tidak merapatkan dan meluruskan shaf, akan memicu perselisihan dan perpecahan hati.

Dari manakah mereka mendatangkan ijtihad seperti ini, yaitu mereka melarang dan mencegah, serta memerintahkan orang-orang untuk meninggalkan hadits yang berbicara tentang masalah meluruskan shaf supaya dapat mempersatukan hati?

Perselisihan ini tidaklah terlewatkan begitu saja dari perhatian Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan hal ini tidak layak bagi beliau, bahkan beliau ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm adalah orang yang lebih mendahului kita di dalam memahami dan mengetahui hal ini, sebab “ucapan beliau tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS an-Najm : 4)

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan perselisihan ummatnya di dalam banyak nash/teks hadits dengan lafazh yang bervariasi. Diantaranya sabda beliau : “niscaya hati kalian akan berselisih”, “atau Alloh akan menjadikan hati-hati kalian saling berselisih”, “atau Alloh akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih.”[2]

Kendati Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengetahui masalah perselisihan dan faktor penyebabnya serta beliau membencinya, beliau tidak mau berpaling dari perkara meluruskan shaf, agar kaum muslimin terbebas dari perdebatan dan perselisihan di dalamnya, kemudian agar mereka dapat menjaga diri dari perpecahan hati yang merupakan akibat dari perselisihan!

Kesemua hal ini, tidak beliau puji dan beliau tolak sedikitpun. Nabi ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm adalah orang yang lebih mengetahui tentang kemaslahatan umat daripada kita, beliau lebih faham tentang mana yang urgen dan lebih diprioritaskan. Namun beliau tidak pernah alpa memperingatkan dari perselisihan yang timbul dari tidak lurusnya shaf. Yang ditetapkan, bahwa beliau tidak pernah meninggalkan masalah meluruskan shaf, tidak pernah ketinggalan untuk melakukannya dan tidak pernah berhenti memperbincangkannya.

Adapun orang yang berpandangan bahwa solusi yang benar adalah tidak meributkan masalah meluruskan shaf atau pembahasan yang semisal dengannya, namun yang utama adalah membincangkan masalah perjuangan memerangi musuh dan memerangi kejahatan dan kebiadaban mereka dengan berbagai bentuknya –dan kami tidaklah bermaksud meremehkan masalah ini-, maka keadaan orang ini adalah seperti orang yang beranggapan bahwa sholat itu lebih urgen ketimbang puasa dan selainnya, lantas ia mengingkari orang yang memperbincangkan masalah urgensi puasa, haramnya berinteraksi dengan riba, atau semisalnya, dengan alasan bahwa manusia saat ini banyak yang menyia-nyiakan dan melalaikan sholat.

Ini merupakan kesalahan yang besar, karena kewajiban itu ada banyak, bermacam-macam dan beraneka ragam. Seorang muslim dituntut untuk memenuhi kewajiban-kewajiban ini dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Tidak boleh bagi kita mengabaikan sebagiannya dan mengamalkan sebagiannya. Membenahi aqidah itu wajib, jihad di jalan Alloh juga wajib. Berdakwah itu wajib dan mewaspadai sepak terjang musuh juga wajib. Memerangi ghibah dan namimah adalah wajib, berbakti kepada orang tua dan meluruskan shaf juga merupakan perkara yang wajib.

Lantas, bagaimana mungkin kita bisa berjihad, menjaga dan membela agama sedangkan kita dalam keadaan berpecah belah dan bertikai satu sama lainnya?!

Mari kita perhatikan perselisihan dan pertikaian yang telah menjangkiti umat, sampai-sampai saudara kita para mujahidin –kendati sedikit dan jarang-, mereka juga saling berpecah belah dan berselisih.

Jangan kamu lupakan pula, bahwa syaithan yang menggerakkan penganut madzhab yang membinasakan, adalah syaithan atau sejenisnya yang tinggal di sela-sela barisan dan berdiri diantara celah barisan/shaf kaum muslimin. Mereka membuat hati menjadi saling berselisih dan jauh antara satu dengan lainnya agar senantiasa tidak dapat bersatu, agar kaum muslimin tidak mampu memberantas madzhab-madzhab yang menyimpang dan keyakinan-keyakinan yang menyeleweng. Hal ini disebabkan syaithan itu tahu bahwa meluruskan shaf dapat mempersatukan hati dan wajah. Apabila kaum muslimin telah bersatu dan saling mencintai, maka syaithan dari bangsa jin dan manusia sudah tidak memiliki kemampuan lagi (untuk memporakporandakan kaum muslimin), dan inilah yang diperkirakan dan ditakuti syaithan bakal terjadi.

Tidak meluruskan shaf akan menyebabkan kehancuran umat

Telah jelas bagi kita dari paparan hadits Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sebelumnya yang tidak meninggalkan keraguan sedikitpun, bahwa ketidaklurusan shaf akan menyebabkan perselisihan yang nantinya dapat memicu kelemahan, kehancuran dan hilangnya kekuatan dan potensi umat. Tentang hal ini, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu saling berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu.” (QS al-Anfâl : 46)

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian berselisih. Karena umat sebelum kalian, mereka berselisih dan menjadi hancur.” (HR Bukhârî : 2410)

Dari perpaduan kedua nash di atas, maknanya menjadi : Luruskan shaf kalian dan jangan berselisih, yang nantinya akan menyebabkan kalian menjadi hancur, lemah dan hilang kekuatan kalian.

Adakah kita menginginkan kehancuran yang lebih besar daripada ini? Ataukah menanti kelemahan yang lebih dahsyat? Kita saat ini sedang dikerumuni oleh umat-umat selain Islam, sebagaimana mereka mengerumuni makanan di atas wadahnya. Inilah keadaan negeri kita yang dijajah, musuh-musuh Islam dengan tamaknya mengeksploitasi negeri kita tanpa sisa, kita hanya bisa termenung tanpa memiliki kemampuan dan kekuatan di antara umat yang ada. Tidak satupun yang kita dengar melainkan hanya keluhan dan rintihan untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan dari serangan musuh. Kita sendiri telah menjadi bergolong-golongan dan berkelompok-kelompok. “dan setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (QS al-Mu`minûn : 53)

Hati pun telah tercerai berai dan jihad telah ditinggalkan. Seakan-akan tidaklah tersisa bagi kita melainkan hanya sekedar perbincangan tentangnya belaka. Sampai kapan gerangan kita selalu berada di dalam perpecahan, perselisihan dan kehampaan seperti ini?! Adapun sekarang, tiba saatnya hati kita senantiasa khusyu’ di dalam mengingat Alloh dan mempelajari agama kita! Adapun sekarang, wahai manusia pilihan dan terbaik, tiba saatnya kalian saling bersatu dan mencintai! Marilah kita terima masalah meluruskan shaf ini. Sebagai permulaan untuk mempersatukan hati kita dengan izin Alloh.

Aduhai, betapa bahayanya bersatu dengan syaithan, baik dari bangsa jin maupun manusia!

Oleh: Abu Salma Al-Atsary
Sumber: http://abusalma.wordpress.com/2009/06/13/awali-persatuan-umat-islam-dengan-meluruskan-shaf/

Footenote:

[1] Artikel ini disarikan dari risalah Taswiyatu ash-Shufûf wa Atsaruhâ fî Hayâtil Ummah karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awâyisyah (Dâr Ibnu Hazm, cet 1, 1423)

[2] Di dalam an-Nihâyah, dikatakan : “maksudnya adalah setiap orang yang memalingkan wajahnya dari orang lain, akan menyebabkan terjadinya sikap saling membenci. Karena menghadapkan wajah dengan wajah itu berdampak terhadap rasa kasih sayang dan persatuan.”

Hukum Mengobrol Setelah Shalat Isya'

Diriwayatkan dari Abu Barzah ( رضي الله عنه ), bahwa Rasulullah (ﷺ) membenci tidur sebelum shalat ‘lsya’ dan mengobrol setelahnya.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ( رضي الله عنه ), ia berkata, “Rasulullah (ﷺ) menyebutkan kepada kami tercelanya mengobrol sesudah shalat ‘lsya’,” (Hasan, HR Ibnu Majah (703), Ahmad (1/389 dan 410), Ibnu Abi Syaibah (11/279), Ibnu Khuzaimah (1340), Ibnu Hibban (2031), al-Baihaqi (1/452)).

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ( رضي الله عنه ), Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Tidak boleh mengobrol (malam hari) kecuali dua orang; Orang yang akan shalat atau musafir,” (Shahih lighairhi, HR Ahmad (1/379, 412, 444, 463), Abdurrazzaq (2130), ath-Thayalisi (294), al-Khathib al-Baghdadi (XIV/286), al-Baihaqi (1/452), Abu Ya’la (5378)).

Kandungan Bab:

1. At-Tirmidzi (1/318) mengatakan,

“Para ulama dari kalangan Sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengobrol sesudah ’lsya, sebagian dari mereka melarangnya, sebagian lainnya mengkhususkan apabila untuk kegiatan belajar mengajar dan kebutuhan-kebutuhan penting, namun kebanyakan hadits-hadits menyebutkan adanya dispensasi untuk itu.”

2. Makruh hukumnya mengobrol sesudah Isya’, karena dapat menyebabkan mereka tidur hingga terlewat mengerjakan shalat Shubuh atau ter-lewat mengerjakan shalat malam.

3. Mengobrol yang dimaksud dalam bab di atas adalah mengobrol tentang perkara-perkara yang dibolehkan sebelum shalat ‘lsya’, Karena mengobrol tentang perkara-perkara haram tidak khusus dilarang sesudah shalat ‘lsya’ saja, bahkan dilarang setiap waktu.

4. Larangan ini tidak berlaku secara mutlak, dalam beberapa hadits shahih telah dikecualikan beberapa perkara, di antaranya:
a. Shalat dan safar, seperti yang disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud terdahulu b. Membicarakan masalah fiqih dan kebaikan, dalam hadits Anas ( رضي الله عنه ), ia berkata,

“Pada suatu malam kami menunggu Rasulullah (ﷺ) sampai tiba waktu tengah malam. Lalu beliau keluar dan mengimami kami shalat. Kemudian beliau berkhutbah, “Sesungguhnya, orang-orang telah shalat dan pergi tidur. Sedang kalian senantiasa dalam shalat selama kalian menunggu shalat.”

Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menunggu kebaikan,”

(Shahih, Tirmidzi (169), Ahmad (1/25, 26 dan 34), Ibnu Khuzaimah (1341), Ibnu Abi Syaibah (11/280), Ibnu Hibban (2034)).

Hadits inilah yang dijadikan dalil oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih beliau, bab: “Berbincang Tentang Masalah Fiqih dan Kebaikan Pada MalamHari.”
c. Berbincang bersama tamu dan keluarga. Imam Bukhari berhujjah dengan kisah perbincangan Abu Bakar dengan tamu dan anggota keluarganya di rumah pada malam hari, dalam perbincangan ter-sebut terdapat dialog, bujukan dan teguran. Semuanya termasuk perbincangan pada malam hari. d. Perbincangan tentang urusan kaum Muslimin. ’Umar bin Khaththab ( رضي الله عنه ). pernah mengatakan,

“Rasulullah (ﷺ) biasa berbincang dengan Abu Bakr pada malam hari tentang urusan kaum Muslimin. Pada suatu malam, aku pernah ikut berbincang bersama mereka berdua.” (HR Bukhari (600)).
e. Perincian itulah yang dipilih oleh ahli tahqiq dari kalangan ahli ilmu.

Imam al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (11/192),

“Adapun berbincang setelah ‘lsya’, para ahli ilmu dari kalangan Sahabat berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang menganggapnya makruh berdasarkan zhahir dari hadits Abu Barzah ( رضي الله عنه ). Sa’id bin al-Musayyab membenci tidur sebelum shalat ‘lsya dan mengobrol sesudahnya. Beliau berkata, ‘Tidur hingga terlewat shalat Isya’ lebih aku sukai daripada bermain-main sesudahnya’.”

Sebagian ulama memberi keringanan berbincang sesudah shalat ‘lsya’ dalam masalah ilmu dan dalam urusan-urusan yang penting, berbincang dengan keluarga dan tamu. Kebanyakan hadits-hadits Nabi memberi keringanan dalam masalah ini.

Imam asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (1/417), ketika menjelaskan hadits ’Umar ( رضي الله عنه ) di atas,

“Hadits ini menunjukkan tidak adanya larangan berbincang sesudah shalat Isya’ jika untuk kepentingan agama, baik kepentingan umum maupun khusus. Adapun hadits Abu Barzah, Ibnu Mas’ud dan lainnya, dibawakan kepada hukum makruh. Atau, cara menggabungkan hadits-hadits tersebut adalah; Hadits-hadits yang melarang, dibawakan kepada pembicaraan yang tidak ada manfaat bagi pelakunya. Sementara hadits-hadits yang membolehkan, dibawakan kepada pembicaraan yang bermanfaat bagi pelakunya.”

Atau dapat juga dikatakan,

“Dalil makruhnya berbincang dan mengobrol sesudah shalat Isya’ termasuk dalil umum yang dikhususkan dengan dalil yang membolehkan berbincang dan mengobrol tentang perkara-perkara yang men-datangkan maslahat bagi kaum Muslimin.”

Imam an-Nawawi berkata,
“Para ulama sepakat atas makruhnya mengobrol setelah shalat ‘lsya’, kecuali mengobrol tentang masalah kebaikan.”

Ada yang mengatakan,

“lllat hukumnya adalah, perbuatan itu dapat membuatnya tidak tidur pada malam hari, sehingga dikhawatirkan ia sangat mengantuk lalu tertidur hingga terlewat mengerjakan shalat Shubuh dengan berjama’ah, atau terlambat mengerjakannya pada waktu yang afdhal dan terbaik (yakni di awal waktu), atau ia terlewat dari berdzikir dan shalat malam bagi yang biasa mengerjakannya. Atau paling tidak, pada siang hari ia akan terlihat malas menunaikan hak dan kewajiban atau mengerjakan amal-amal ketaatan.”

Sumber:

Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/367-370.
Oleh: Fani
Tanggal Penulisan: Friday, 05 September 2008
Sumber: http://alislamu.com/index.php?Itemid=67&id=1404&option=com_content&task=view

28 Agustus 2009

PERBEDAAN SUNI DAN SYIAH

Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah

ITSNA ASYRIYAH ?
Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki. Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.

Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.

Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.

Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.

Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.

Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.

Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur’an mereka juga berbeda dengan Al-Qur’an kita (Ahlussunnah).

Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur’annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.

Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.

Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

1. Ahlussunnah : Rukun Islam kita ada 5 (lima)

a) Syahadatain
b) As-Sholah
c) As-Shoum
d) Az-Zakah
e) Al-Haj


Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:

a) As-Sholah
b) As-Shoum
c) Az-Zakah
d) Al-Haj
e) Al wilayah


2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam) :

a) Iman kepada Allah
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya
d) Iman kepada Rasul Nya
e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.


Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*

a) At-Tauhid
b) An Nubuwwah
c) Al Imamah
d) Al Adlu
e) Al Ma’ad


3. Ahlussunnah :

Dua kalimat syahadat


Syiah :

Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.



4. Ahlussunnah :

Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.

Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.



Syiah :

Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.


5. Ahlussunnah : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :

a) Abu Bakar
b) Umar
c) Utsman
d) Ali Radhiallahu anhum



Syiah :

Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai’at dan mengakui kekhalifahan mereka).


6. Ahlussunnah :

Khalifah (Imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum.

Berarti mereka dapat berbuat salah/ dosa/ lupa. Karena sifat Ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi.



Syiah :

Para imam yang jumlahnya dua belas tersebut mempunyai sifat Ma’’hum, seperti para Nabi.


7. Ahlussunnah :

Dilarang mencaci-maki para sahabat.



Syiah :

Mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa bahkan Syiah berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para sahabat membai’at Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.


8. Ahlussunnah :

Siti Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai. Beliau adalah Ummul Mu’minin.



Syiah :

Siti Aisyah dicaci-maki, difitnah, bahkan dikafirkan.


9. Ahlussunnah :

Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah :
a) Bukhari
b) Muslim
c) Abu Daud
d) Turmudzi
e) Ibnu Majah
f) An Nasa’i
(kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).



Syiah :

Kitab-kitab Syiah ada empat :
a) Al Kaafi
b) Al Istibshor
c) Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih
d) Att Tahdziib
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah).


10. Ahlussunnah :

Al-Qur’an tetap orisinil



Syiah :

Al-Qur’an yang ada sekarang ini menurut pengakuan ulama Syiah tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).


11. Ahlussunnah :

Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya.

Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya.



Syiah :

Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah.

Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.


12. Ahlussunnah :

Aqidah Raj’Ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj’ah adalah besok diakhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.



Syiah :

Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah. Dimana diceritakan : bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain.

Setelah mereka semuanya bai’at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai ribuan kali. Sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.


Keterangan :
Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri. Berlainan dengan Imam Mahdinya Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan kedamaian.
13. Ahlussunnah :

Mut’ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram.



Syiah :

Mut’ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.


14. Ahlussunnah :

Khamer/ arak tidak suci.



Syiah :

Khamer/ arak suci.


15. Ahlussunnah :

Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci.



Syiah :

Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.


16. Ahlussunnah :

Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah.



Syiah :

Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat.

(jadi shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-orang Syiah dihukum tidak sah/ batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).


17. Ahlussunnah :

Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah.



Syiah :

Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/ batal shalatnya.

(Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).


18. Ahlussunnah :

Shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i.



Syiah :

Shalat jama’ diperbolehkan walaupun tanpa alasan apapun.


19. Ahlussunnah :

Shalat Dhuha disunnahkan.



Syiah :

Shalat Dhuha tidak dibenarkan.

(padahal semua Auliya’ dan salihin melakukan shalat Dhuha).



Demikian telah kami nukilkan perbedaan-perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sengaja kami nukil sedikit saja, sebab apabila kami nukil

seluruhnya, maka akan memenuhi halaman-halaman buku ini.

Harapan kami semoga pembaca dapat memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca yang mengambil keputusan (sikap).

Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan Muslimin berbeda segalanya).

Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan diatas adalah agar masyarakat memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada antara Ahlussunnah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) itu, disamping dalam Furuu’ (cabang-cabang agama) juga dalam Ushuul (pokok/ dasar agama).

Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab mereka itu sudah memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh atau tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu).

Oleh karena itu, sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah.

Akhirnya, setelah kami menyampaikan perbedaan-perbedaan antara Ahlussunnah dengan Syiah, maka dalam kesempatan ini kami menghimbau kepada Alim Ulama serta para tokoh masyarakat, untuk selalu memberikan penerangan kepada umat Islam mengenai kesesatan ajaran Syiah. Begitu pula untuk selalu menggalang persatuan sesama Ahlussunnah dalam menghadapi rongrongan yang datangnya dari golongan Syiah. Serta lebih waspada dalam memantau gerakan Syiah didaerahnya. Sehingga bahaya yang selalu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa kita dapat teratasi.

Selanjutnya kami mengharap dari aparat pemerintahan untuk lebih peka dalam menangani masalah Syiah di Indonesia. Sebab bagaimanapun, kita tidak menghendaki apa yang sudah mereka lakukan, baik di dalam negri maupun di luar negri, terulang di negara kita.

Semoga Allah selalu melindungi kita dari penyesatan orang-orang Syiah dan aqidahnya. Amin.
—————————————————————
Di nukil dari : www.elitha-eri.net
Rujukan: http://www.albayyinat.net

ZIKIR PAGI DAN PETANG SESUAI AS SUNNAH YANG SHAHIH

Banyak sekali keutamaan dzikir pagi dan sore sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dzikir pagi dilakukan setelah shalat shubuh sampai terbit matahari atau sampai matahari meninggi saat waktu dhuha, kira-kira jam tujuh atau jam delapan. Adapun dzikir sore dilakukan setelah shalat 'ashar sampai terbenam matahari atau sampai menjelang waktu 'isya.

Versi terjemahan :
Terjemahan Dzikir Pagi dan Sore

Versi audio oleh Syaikh Misyari Rasyid al-Afasy :
Dengarkan Dzikir Pagi dan Sore










RINGKASAN TIGA LANDASAN UTAMA (Ushuul Tsalaatsah)

Oleh : Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab


Muqaddimah

Akhi (Saudaraku).
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.

Ketahuilah, bahwa wajib bagi kita untuk mendalami empat masalah, yaitu :

[1] Ilmu, ialah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil.

[2] Amal, ialah menerapkan ilmu ini.

[3] Da'wah, ialah mengajak orang lain kepada ilmu ini.

[4] Sabar, ialah tabah dan tangguh menghadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu, mengamalkannya dan berda'wah kepadanya.

Dalilnya, firman Allah Ta'ala.

"Demi masa. Sesungguhnya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shalih dan saling nasihat-menasihati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasehat-menasehati untuk (berlaku) sabar". [Al-'Ashr : 1-3].

Imam Asy-Syafi'i [1] Rahimahullah Ta'ala, mengatakan :"Seandainya Allah hanya menurunkan surah ini saja sebagai hujjah buat makhluk-Nya, tanpa hujjah lain, sungguh telah cukup surah ini sebagai hujjah bagi mereka".

Dan Imam Al-Bukhari [2] Rahimahullah Ta'ala, mengatakan :"Bab Ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan".

Dalilnya firman Allah Ta'ala.
"Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada sesembahan (yang haq) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu". [Muhammad : 19]

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk berilmu (berpengetahuan) .... .." [3] sebelum ucapan dan perbuatan.


Akhi (Saudaraku).
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.

Dan ketahuilah, bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan mengamalkan ketiga perkara ini :

[1] Bahwa Allah-lah yang menciptakan kita dan yang memberi rizki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita begitu saja dalam kebingungan, tetapi mengutus kepada kita seorang rasul, maka barangsiapa mentaati rasul tersebut pasti akan masuk surga dan barangsiapa menyalahinya pasti akan masuk neraka.

Allah Ta'ala berfirman :"Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang rasul yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir'aun seorang rasul, tetapi Fir'aun mendurhakai rasul itu, maka Kami siksa ia dengan siksaan yang berat". [Al-Muzammil : 15-16]

[2] Bahwa Allah tidak rela, jika dalam ibadah yang ditujukan kepada-Nya, Dia dipersekutukan dengan sesuatu apapun, baik dengan seorang malaikat yang terdekat atau dengan seorang nabi yang diutus manjadi rasul. Allah Ta'ala berfirman :"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang-pun di dalamnya disamping (menyembah) Allah". [Al-Jinn : 18]

[3] Bahwa barangsiapa yang mentaati Rasulullah serta mentauhidkan Allah, tidak boleh bersahabat dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu keluarga dekat.

Allah Ta'ala berfirman :
"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah mantapkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya dan mereka akan dimasukkan-Nya ke dalam surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung". [Al-Mujaadalah : 22]

Akhi (Saudaraku).
Semoga Allah mebimbing anda untuk taat kepada-Nya.

Ketahuilah, bahwa Islam yang merupakan tuntunan Nabi Ibrahim adalah ibadah kepada Allah semata dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Itulah yang diperintahkan Allah kepada seluruh umat manusia dan hanya itu sebenarnya mereka diciptakan-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku". [Adz-Dzaariyaat : 56]

Ibadah dalam ayat ini, Tauhid. Dan perintah Allah yang paling agung adalah Tauhid, yaitu : Memurnikan ibadah untuk Allah semata-mata. Sedang larangan Allah yang paling besar adalah syirik, yaitu : Menyembah selain Allah di samping menyembah-Nya. Allah Ta'ala berfirman :

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya". [An-Nisaa : 36]

Kemudian, apabila anda ditanya : Apakah tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh manusia ? Maka hendaklah anda jawab : Yaitu mengenal Tuhan Allah 'Azza wa Jalla, mengenal agama Islam, dan mengenal Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.


MENGENAL ALLAH 'AZZA WA JALLA

Apabila anda ditanya : Siapakah Tuhanmu ? Maka katakanlah : tuhanku adalah Allah, yang memelihara diriku dan memelihara semesta alam ini dengan segala ni'mat yang dikaruniakan-Nya. Dan dialah sembahanku, tiada sesembahan yang haq selain Dia.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Segala puji hanya milik Allah Tuhan Pemelihara semesta alam". [Al-Faatihah : 1]

Semua yang ada selain Allah disebut alam, dan aku adalah salah satu dari semesta alam ini.

Selanjutnya jika anda ditanya : Melalui apa anda mengenal Tuhan ? Maka hendaklah anda jawab : Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah : malam, siang, matahari dan bulan. Sedang di antara ciptaan-Nya ialah : tujuh langit dan tujuh bumi beserta segala mahluk yang ada di langit dan di bumi serta yang ada di antara keduanya.

Firman Allah Ta'ala.

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah" [Fushshilat : 37]

Dan firman-Nya :

"Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang, senantiasa mengikutinya dengan cepat. Dan Dia (ciptakan pula) matahari dan bulan serta bintang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah hanya hak Allah mencipta dan memerintah itu. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam". [Al-A'raaf : 54]

Tuhan inilah yang haq disembah. Dalilnya, firman Allah Ta'ala :

"Wahai manusia ! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui". [Al-Baqarah : 22]

Ibnu Katsir [4] Rahimahullah Ta'ala, mengatakan :"Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah".[Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, (Cairo, Maktabah Dar At-Turats, 1400H) jilid. 1 hal. 57.]

Dan macam-macam ibadah yang diperintah Allah itu, antara lain : Islam (Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji), Iman, Ihsan, Do'a, Khauf (takut), Raja' (pengharapan), Tawakkal, Raghbah (penuh minat), Rahbah (cemas), Khusyu' (tunduk), Khasyyah (takut), Inabah (kembali kepada Allah), Isti'anah (memohon pertolongan), Isti'adzah (meminta perlindungan), Istighatsah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan), Dzabh (penyembelihan) Nadzar dan macam-macam ibadah lainnya yang diperintahkan olehAllah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah". [Al-Jinn : 18]

Karena itu barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka dia adalah musyrik dan kafir. Firman Allah Ta'ala :

"Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka benar-benar balasannya ada pada tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang kafir itu". [Al-Mu'minuun :117]

Dalil-dalil macam Ibadah :

[1]. Dalil Do'a.

Firman Allah Ta'ala :
"Dan Tuhanmu berfirman : Berdo'alah kamu kepada-Ku niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina-dina". [Ghaafir : 60]

Dan diriwayatkan dalam hadits :

"Do'a itu adalah sari ibadah" [5].

[2]. Dalil Khauf (Takut).

Firman Allah Ta'ala :
"Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman". [Ali 'imran : 175]

[3]. Dalil Raja' (Pengharapan).

Firman AllahTa'ala.
"Untuk itu barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhanya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya". [Al-Kahfi : 110]

[4]. Dalil Tawakkal (Berserah Diri).

Firman Allah Ta'ala :
"Dan hanya kepada Allah-lah supaya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". [Al-Maa'idah : 23]

"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang akan mencukupinya". [Ath-Thalaaq : 3]

[5]. Dalil Raghbah (Penuh Minat), Rahbah (Cemas) dan Khusyu' (Tunduk).

Firman Allah Ta'ala.
"Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam (mengerjakan) kebaikan-kebaikan serta mereka berdo'a kepada Kami dengan penuh minat (kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu selalu tunduk hanya kepada Kami". [Al-Anbiyaa : 90]

[6]. Dalil Khasy-yah (Takut).

Firman Allah Ta'ala.
"Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku". [Al-Baqarah : 150]

[7]. Dalil Inabah (Kembali Kepada Allah).

Firman Allah Ta'ala.
"Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu serta berserah dirilah kepada-Nya (dengan mentaati perintah-Nya), sebelum datang adzab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat tertolong (lagi)". [Az-Zumar : 54]

[8]. Dalil Isti'anah (Memohon Pertolongan).

Firman Allah Ta'ala.
"Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan". [Al-Faatihah : 4]

Dan diriwayatkan dalam hadits.
"Apabila kamu memohon pertolongan, maka memohonlah pertolongan kepada Allah". [6]

[9]. Dalil Isti'adzah (Meminta Perlindungan).

Firman Allah Ta'ala.
"Katakanlah Aku berlindung kepada Tuhan yang Menguasai subuh". [Al-Falaq : 1]

Dan firman-Nya :
"Katakanlah Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Penguasa manusia". [An-Naas : 1-2]

[10]. Dalil Istighatsah (Meminta Pertolongan Untuk Dimenangkan Atau Diselamatkan).

Firman Allah Ta'ala.
"(Ingatlah) tatkala kamu meminta pertolongan kepada Tuhanmu untuk dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu". [Al-Anfaal : 9]

[11]. Dalil Dzabh (Penyembelihan).

Firman Allah Ta'ala.
"Katakanlah. Sesungguhnya shalatkku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sesuatu-pun sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri (kepada-Nya)". [Al-An'am : 162-163]

Dalil dari Sunnah.
"Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) bukan karena Allah". [7]

[12]. Dalil Nadzar.

Firman Allah Ta'ala.
"Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang siksanya merata di mana-mana". [Al-Insaan : 7]


MENGENAL ISLAM

Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.

I. Tingkatan Islam

Adapun tingkatan Islam, rukunnya ada lima :

[1] Syahadat (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa "Laa Ilaaha Ilallaah" (Tiada sesembahan yang haq selain Allah) dan Muhammad adalah Rasulullah.
[2] Mendirikan shalat.
[3] Mengeluarkan zakat.
[4] Shiyam pada bulan Ramadhan.
[5] Haji ke Baitullah Al-Haram.

[1]. Dalil Syahadat.

Firman Allah Ta'ala.
"Allah menyatakan bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Dia, dengan senantiasa menegakkan keadilan (Juga menyatakan demikian itu) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tiada sesembahan (yang haq) selain Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [Al-Imraan : 18]

"Laa Ilaaha Ilallaah"' Tiada sesembahan yang haq selain Allah.

Syahadat ini mengandung dua unsur : menolak dan menetapkan. "Laa Ilaaha", adalah menolak segala sembahan selain Allah. "Illallaah" adalah menetapkan bahwa penyembahan itu hanya untuk Allah semata-mata, tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu didalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di dalam kekuasaan-Nya.

Tafsiran syahadat tersebut diperjelas oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kepada kaumnya : 'Sesungguhnya aku menyatakan lepas dari segala yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang telah menciptakan-ku, karena sesungguhnya Dia akan menunjuki'. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka senantiasa kembali (kepada tauhid)". [Az-Zukhruf : 26-28]

"Katakanlah (Muhammad) : 'Hai ahli kitab ! Marilah kamu kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, yaitu ; hendaklah kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya serta janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka :'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang muslim (menyerahkan diri kepada Allah)". [Ali 'Imran : 64]

Adapun dalil syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Firman Allah Ta'ala.

"Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kalangan kamu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) untukmu, amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang yang beriman". [At-Taubah : 128]

Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah, berarti : mentaati apa yang diperintahkannya, membenarkan apa yang diberitakannya, menjauhi apa yang dilarang serta dicegahnya, dan menyembah Allah hanya dengan cara yang disyariatkannya.

[2]. Dalil Shalat dan [3] Zakat serta tafsiran Tauhid.

Firman Allah Ta'ala.
"Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya lagi bersikap lurus, dan supaya mereka mendirikan Shalat serta mengeluarkan Zakat. Demikian itulah tuntunan agama yang lurus". [Al-Bayyinah : 5]

[4]. Dalil Shiyam

Firman Allah Ta'ala.
"Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu untuk melakukan shiyam, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". [Al-Baqarah : 183]

[5]. Dalil Haji.

Firman Allah Ta'ala.
"Dan hanya untuk Allah, wajib bagi manusia melakukan haji, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha tidak memerlukan semsesta alam". [Al 'Imran : 97)]

II. Tingkatan Iman.

Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat "Laa Ilaaha Ilallaah", sedang cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu adalah salah satu dari cabang Iman.

Rukun Iman ada enam, yaitu :

[1] Iman kepada Allah.
[2] Iman kepada para Malaikat-Nya.
[3] Iman kepada Kitab-kitab-Nya.
[4] Iman kepada para Rasul-Nya.
[5] Iman kepada hari Akhirat, dan
[6] Iman kepada Qadar, yang baik dan yang buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam semesta ini adalah diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Dalil keenam rukun ini, firman Allah Ta'ala.

"Berbakti (dari Iman) itu bukanlah sekedar menghadapkan wajahmu (dalam shalat) ke arah Timur dan Barat, tetapi berbakti (dan Iman) yang sebenarnya ialah iman seseorang kepada Allah, hari Akhirat, para Malaikat, Kitab-kitab dan Nabi-nabi..." [Al-Baqarah : 177]

Dan firman Allah Ta'ala.

"Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan sesuai dengan qadar". [Al-Qomar : 49]

III. Tingkatan Ihsan.

Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu :

"Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu". [Pengertian Ihsan tersebut adalah penggalan dari hadits Jibril, yang dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, sebagaimana akan disebutkan]

Dalilnya, firman Allah Ta'ala.

"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan". [An-Nahl : 128]

Dan firman Allah Ta'ala.

"Dan bertakwallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesunnguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Asy-Syu'araa : 217-220]

Serta firman-Nya.

"Dalam keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur'an yang kamu baca, serta pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan, tidak lain kami adalah menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya". [Yunus : 61]

Adapun dalilnya dari Sunnah, ialah hadits Jibril[8] yang masyhur, yang diriwayatkan dari 'Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

"Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuhnya tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan menyandarkan kelututnya pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau, dan berkata : 'Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam', maka beliau menjawab :'Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah serta Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana'. Lelaki itu pun berkata : 'Benarlah engkau'. Kata Umar :'Kami merasa heran kepadanya, ia bertanya kepada beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata : 'Beritahulah aku tenatng Iman'. Beliau menjawab :'Yaitu : Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk'. Ia pun berkata : 'Benarlah engkau'. Kemudian ia berkata : 'Beritahullah aku tentang Ihsan'. Beliau menjawab : Yaitu : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu'. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab : 'Orang yang ditanya tentang hal tersebut tidak lebih tahu dari pada orang yang bertanya'. AKhirnya ia berkata :'Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu'. Beliau menjawab : Yaitu : 'Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun bangunan yang tinggi'. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu, semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi bertanya : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ? Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun bersabda : 'Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian". [9]


MENGENAL NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Beliau adalah Muhammad bin 'Abdullah, bin 'Abdul Muthallib, bin Hasyim. Hasyim adalah termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa Arab, sedang bangsa Arab adalah termasuk keturunan Nabi Isma'il, putera Nabi Ibrahim Al-Khalil. Semoga Allah melimpahkan kepadanya dan kepada Nabi kita sebaik-baik shalawat dan salam.

Beliau berumur 63 tahun, diantaranya 40 tahun sebelum beliau menjadi nabi dan 23 tahun sebagai nabi dan rasul.

Beliau diangkat sebagai nabi dengan "Iqra" yakni surah Al-'Alaq : 1-5, dan diangkat sebagai rasul dengan surah Al-Mudatstsir.

Tempat asal beliau adalah Makkah.

Beliau diutus Allah untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid. Dalilnya, firman Allah Ta'ala.

"Wahai orang yang berselimut ! Bangunlah, lalu sampaikanlah peringatan. Agungkanlah Tuhanmu. Sucikalah pakaianmu. Tinggalkanlah berhala-berhala itu. Dan janganlah kamu memberi, sedang kamu menginginkan balasan yang lebih banyak. Serta bersabarlah untuk memenuhi perintah Tuhanmu". [Al-Mudatstsir : 1-7]

Pengertian :

[1] "Sampaikanlah peringatan", ialah menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.

[2] "Agungkanlah Tuhanmu". Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan beribadah kepada-Nya semata-mata.

[3] "Sucikanlah pakaianmu", maksudnya ; Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan syirik.

[4] "Tinggalkanlah berhala-berhala itu", Jauhkan dan bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.

Beliaupun melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu beliau di mi'rajkan (diangkat naik) ke atas langit dan disyari'atkan kepada beliau shalat lima waktu. Beliau melakukan shalat di Makkah selama tiga tahun. Kemudian, sesudah itu, beliau diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah, pengertiannya, ialah : Pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islami.

Hijrah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam. Dan kewajiban tersebut hukumnya tetap berlaku sampai hari kiamat. Dalil yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu firman Allah Ta'ala.

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan zhalim terhadap diri mereka sendiri [10], kepada mereka malaikat bertanya :'Dalam keadaan bagaimana kamu ini .? 'Mereka menjawab : Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah). Para malaikat berkata : 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (kemana saja) di bumi ini ?. Maka mereka itulah tempat tinggalnya neraka Jahannam dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Akan tetapi orang-orang yang tertindas di antara mereka, seperti kaum lelaki dan wanita serta anak-anak yang mereka itu dalam keadaan tidak mampu menyelamatkan diri dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), maka mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah adalah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun". [An-Nisaa : 97-99]

Dan firman Allah Ta'ala.

"Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman ! Sesungguhnya, bumi-Ku adalah luas, maka hanya kepada-Ku saja supaya kamu beribadah". [Al-Ankabuut : 56]

Al-Baghawi [11], Rahimahullah, berkata :"Ayat ini, sebab turunnya, adalah ditujukan kepada orang-orang muslim yang masih berada di Makkah, yang mereka itu belum juga berhijrah. Karena itu, Allah menyeru kepada mereka dengan sebutan orang-orang yang beriman".

Adapun dalil dari Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Hijrah tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum ditutup, sedang pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari barat". [Hadits Riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 4, hal. 99. Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Al-Jihad, bab 2, dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya, kitab As-Sam, bab 70]

Setelah Nabi Muhammad menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji, adzan, jihad, amar ma'ruf dan nahi mungkar, serta syariat-syariat Islam lainnya.

Beliau-pun melaksanakan untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun. Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam keadaan lestari.

Inilah agama yang beliau bawa : Tiada suatu kebaikan yang tidak beliau tunjukkan kepada umatnya dan tiada suatu keburukan yang tidak beliau peringatkan kepada umatnya supaya di jauhi. Kebaikan yang beliau tunjukkan ialah tauhid serta segala yang dicintai dan diridhai Allah, sedang keburukan yang beliau peringatkan supaya dijauhi ialah syirik serta segala yang dibenci dan tidak disenangi Allah.

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia, dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk mentaatinya. Allah Ta'ala berfirman.

"Katakanlah. 'Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua". [Al-Araaf : 158]

Dan melalui beliau, Allah telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita, firman Allah Ta'ala.

"..Pada hari ini [12], telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku lengkapkan kepadamu ni'mat-Ku serta Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu". [Al-Maaidah : 3]

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga wafat, ialah firman Allah Ta'ala.

"Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka-pun akan mati (pula). Kemudian, sesungguhnya kamu nanti pada hari kiamat berbantah- bantahan di hadapan Tuhanmu". [Az-Zumar : 30-31]

Manusia sesudah mati, mereka nanti akan dibangkitkan kembali. Dalilnya firman Allah Ta'ala.

"Berasal dari tanahlah kamu telah Kami jadikan dan kepadanya kamu Kami kembalikan serta darinya kamu akan Kami bangkitkan sekali lagi" [Thaa-haa : 55]

Dan firman Allah Ta'ala.

"Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalamnya (lagi) dan (pada hari Kiamat) Dia akan mengeluarkan kamu dengan sebenar-benarnya". [Nuh : 17-18]

Setelah manusia dibangkitkan, mereka akan di hisab dan diberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka, firman Allah Ta'ala.

"Dan hanya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat buruk sesuai dengan perbuatan mereka dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan (pahala) yang lebih baik (surga)".[An-Najm : 31]

Barangsiapa yang tidak mengimani kebangkitan ini, maka dia adalah kafir, firman Allah Ta'ala.

"(Kami telah mengutus) rasul-rasul menadi penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan, supaya tiada lagi suatu alasan bagi menusia membantah Allah sebelum (diutusnya), serta beliulah penutup para nabi". [An-Nisaa : 165]

"Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakan : 'Tidaklah demikian. Demi Tuhanku, kamu pasti akan dibangkitkan dan niscaya akan diberitakan kepadamu apapun yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah amat mudah bagi Allah". [At-Taghaabun : 7]

Allah telah mengutus semua rasul sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"(Kami telah mengutus) rasul-rasul menjadi penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan supaya tiada lagi suatu alasan bagi manusia membantah Allah setelah (diutusnya) para rasul itu .." [An-Nisaa : 165]

Rasul pertama adalah Nabi Nuh 'Alaihissalam [13], Dan rasul terkahir adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta beliaulah penutup para nabi.

Dalil yang menunjukkan bahwa rasul pertama adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, firman Allah Ta'ala.

"Sesungguhnya Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya .." [An-Nisaa : 163]

Dan Allah telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad, dengan memerintahkan mereka untuk beribadat kepada Allah semata-mata dan melarang mereka beribadah kepada thagut. Allah Ta'ala berfirman.

"Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan) :'Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thagut itu ..". [An-Nahl : 36]

Dengan demikian, Allah telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir terhadap thagut dan hanya beriman kepada-Nya.

Ibnu Al-Qayyim [14], Rahimahullah Ta'ala, telah menjelaskan pengertian thagut tersebut dengan mengatakan.

"Thagut, ialah setiap yang diperlakukan manusia secara melampui batas (yang telah ditentukan oleh Allah), seperti dengan disembah, atau diikuti atau dipatuhi".

Dan thagut itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada lima :

[1] Iblis, yang telah dilaknat oleh Allah.
[2] Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela.
[3] Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
[4] Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib, dan
[5] Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah.

Allah Ta'ala berfirman.

"Tiada paksaan dalam (memeluk) agama ini. Sungguh telah jelas kebenaran dari kesesatan. Untuk itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka dia benar-benar telah berpegang teguh dengan tali yang terkuat, yang tidak akan terputus tali itu. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Baqarah : 256]

Ingkar kepada semua thagut dan iman kepada Allah saja, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tadi, adalah hakekat syahadat "Laa Ilaaha Ilallah".

Dan diriwayatkan dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Pokok agama ini adalah Islam [15], dan tiangnya adalah shalat, sedang ujung tulang punggungnya adalah jihad fi sabilillah". [Hadits Shahih riwayat Ath-Thabarani dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, dan riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami Ash-Shahih, kitab Al-Imaan, bab 8]

Hanya Allah-lah Yang Mahatau. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad kepada keluarga dan para sahabatnya.

_________
Foote Note.
[1] Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi'i Al-Hasyim Al-Quraisy Al-Muthallibi (150-204H - 767-820M) Salah seorang imam empat. Dilahirkan di Gaza (Palestina) dan meninggal di Cairo. Diantara karya ilmiyahnya Al-Umm, Ar-Risalah dan Al-Musnad.
[2] Abu 'Abdillah Miuhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al- Bukhari (194-256H - 810-870M) Seorang Ulama ahli Hadits. Untuk mengumpulkan hadits ia telah menempuh perjalanan yang panjang, mengunjungi Khurasan, Irak, Mesir dan Syam. Kitab-kitab yang disusunnya antara lain Al-Jaami Ash-Shahih (yang lebih dikenal dengan Shahih Bukhari), At-Taarikh, Adh-Dhu'afaa, Khalq Af'aal al-Ibaad.
[3] Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-'ilm, bab.10
[4] Abu Al-Fidaa : Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasy Ad-Dimasyqi (701-774H - 1302-1373M). Seorang ahli ilmu hadits, tafsir, fiqh dan sejarah. Diantara karyanya : Tafsir Al-Qur'aan Al-Azhim, Thabaqat Al-Fuqahaa Asy Syafiiyyun, Al-Bidayah wa An-Nihayah (sejarah), Ikhtishaar 'Uluum Al-Hadits, Syarh Shahih Al-Bukhari (belum sempat dirampungkannya).
[5]. [Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami' Ash-Shahiih, kitab Ad-Da'waat, bab 1. "Maksud hadits ini adalah bahwa segala macam ibadah, baik yang umum maupun yang khusus, yang dilakukan seorang mu'min, seperti mencari nafkah yang halal untuk keluarga, menyantuni anak yatim dll, semestinya diiringi dengan permohonan ridha Allah dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh karena itu Do'a (permohonan dan pengharapan tersebut) disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sari atau otak ibadah, karena senantiasa harus mengiringi gerak ibadah"]
[6]. Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami' 'Ash-Shahiih, kitab Shifaat Al-Qiyaamah wa Ar-Raqa'iq wa Al-Wara : bab 59 dan riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad. Beirut Al-maktab Al-Islami 1403H jilid 1 hal. 293, 303, 307
[7]. Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al-Adhaahi, bab 8 dan riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108, 118 dan 152
[8] Disebut hadits jibril, karena jibril-lah yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan menanyakan kepada beliau tentang, Islam, Iman dan masalah hari Kiamat. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada kaum muslimin tentang masalah-masaalah agama.
[9]. [Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al-Iman, bab 1, hadits ke 1. Dan diriwayatkan juga hadits dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-Iman, bab 37, hadits ke 1.
[10] Yang dimaksud dengan orang-orang yang zhalim terhadap diri mereka sendiri dalam ayat ini, ialah orang-orang penduduk Makkah yang sudah masuk Islam tetapi mereka tidak mau hijrah bersama Nabi, padahal mereka mampu dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada diantara mereka yang terbunuh.
[11] Abu Muhammad Al-Husein bin Mas'ud bin Muhammad Al-Farra' atau Ibnu Al-Farra'. Al Baghawi (436-510H - 1044-1117M). Seorang ahli dalam bidang fiqh, hadits dan tafsir. Di antara karyanya : At-Tahdziib (fiqh), Syarh As-Sunnah (hadits), Lubaab At-Ta'wiil fi Ma'aalim At-Tanziil (tafsir).
[12] Maksudnya, adalah hari Jum'at ketika wukuf di Arafah, pada waktu Haji Wada.
[13] Selain dalil dari Al-Qur'an yang disebutkan Penulis, yang menunjukkan bahwa Nabi Nuh adalah rasul pertama, di sana juga ada hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Nuh adalah rasul pertama yang di utus kepada penduduk bumi ini, seperti hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al-Anbiya, bab 3 dan riwayat Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Iman, bab. 84. Adapun Nabi Adam Alaihissalam, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari, Radhiyallahu anhu. Beliau adalah nabi pertama. Dan disebutkan dalam hadits ini bahwa jumlah para nabi ada 124 ribu orang, dari jumlah tersebut sebagai rasul 315 orang, dan dalam riwayat lain disebutkan 310 orang lebih. Lihat : Imam Ahmad, Al-Musnad, jilid 5, hal. 178, 179 dan 265.
[14] Abu Abdillah : Muhammad bin Abu Bakar, bin Ayyub, bin Said, Az-Zur'i,Ad-Dimasqi, terkenal dengan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (691-751H - 1292 - 1350M). Seorang ulama yang giat dan gigih dalam mengajak umat Islam pada zamannya untuk kembali kepada tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah serta mengikuti jejak para Salaf Shalih. Mempunyai banyak karya tulsi, antara lain : Madaarij As-Salikin, Zaad Al-Ma'aad, Thariiq Al-Hijratain wa Baab As-Sa'aadatain, At-Tibyaan fi Aqwaam Al-Qur'aan, Miftah Daar As-Sa'aadah.
[15] Silahkan melihat kembali pengertian Islam yang disebutkan oleh Penulis, dalam Tiga Landasan Utama bagian 3/4

_____________________________________

[Disalin dari buku Tiga Landasan Utama, Oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, hal 5-36, Kementrian Urusan Islam, Waqaf, Da'wah dan Penyuluhan Urusan Penerbitan dan Penyebaran Kerajaan Arab Saudi]

Laa Ilaaha Illallah Adalah Kunci Surga

Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah kita apa kunci surga itu? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi kita tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shålallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallåh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).

Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallåh, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka ? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallåh, tetapi mereka masih meminta-minta (berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya ? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga ? Tidak mungkin !

Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallåh itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.

Al-Iman Bukhåri meriwayatkan dalam Shohih-nya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Wahab bin Munabbih (seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) ditanya: “Bukankah Laa ilaaha illallåh itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan di bukakan untukmu !”.

Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallåh itu ? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallåh itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illallåh ! Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallåh itu ada delapan, yaitu :

Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui)

Artinya memahami makna (yakni memahami bahwa makna Laa ilaaha illallåh adalah bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah/diibadahi melainkan Allåh) dan maksudnya (yakni memahami segala konsekuensi yang ada didalamnya, pembatal-pembatalnya dll.), Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya :... Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya). [Az-Zukhruf : 86]

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).

Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya, dan dibuktikan dengan perbuatannya.

Sekiranya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna. Begitupun, jikalau ia mengerti maknanya dan melakukan persaksian, tapi persaksiannya tersebut tidak diikuti dengan perbuatan yang membenarkan persaksiannya, maka sama saja, persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.

Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini)

Maksudnya adalah kita harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallåh tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syhadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga. (HR. Muslim).

Jadi, Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan sya-hadat itu. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu ..." [Al-Hujurat : 15]

Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi shållallåhu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga." [HR. Al-Bukhari]

Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.

Ketiga : Al-Qobulu (manerima)

Maksudnya kita harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallåh dengan senang hati, lisan dan perbuatan, tanpa menolak sedikitpun. kita tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an (yang artinya):

“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka : (ucapkanlah) Laa ilaaha illallåh, mereka menyombongkan diri seraya berkata : Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “ (QS. As-Shoffat : 35-36).

Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; yaitu menyembah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selainNya.

Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta'ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah:

"Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [Ash-Shafat: 35-36]

Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum me-nerima makna laa ilaaha illallah.

Keempat : Al-Inqiyaadu (tunduk atau patuh)

Maksudnya kita harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallåh dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Kembalilah ke jalan Tuhanmua, dan tunduklah kepada-Nya. “ (QS. Az-Zumar : 54).

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya):

“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul (ikatan) tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallåh). “(QS. Luqman : 22).

Al-'Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan makna yuslim wajhahu adalah yanqadu (patuh, pasrah). [Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (-pent)].

Kelima : Ash-Shidqu (jujur atau benar)

Maksudnya kita harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallåh, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Shålallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) :

“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “ (HR. Bukhåri dan Muslim).

Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepa-da Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." [Al-Baqarah: 8-10]

Keenam : Al-Ikhlas (ikhlas atau murni)

Maksudnya kita harus membersihkan amalan kita dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain, yang merupakan syirik ashghår, yang dosanya lebih besar dari zina dan merampok), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya.

Nabi Shålallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallåh semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla. “(HR. Bukhåri dan Muslim).

Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai)

Maksudnya kita harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang di cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya). “ (QS. Al-Baqarah : 165).

Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan Ahlus Syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallåh.

Kedelapan : Al-Kufru bimaa siwaahu (mengingkari sesembahan yang lainnya)

Maksudnya kita harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga kita harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah-sembah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya): “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallåh), yang tidak akan putus….”(QS. Al-Baqoroh : 256).

Saudaraku kaum muslimin dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallåh hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah !

Wallahu a’lamu bish showwab

Sumber:

- Kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq
- BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 13 / Shafar / 1425