Diriwayatkan dari Abu Barzah ( رضي الله عنه ), bahwa Rasulullah (ﷺ) membenci tidur sebelum shalat ‘lsya’ dan mengobrol setelahnya.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ( رضي الله عنه ), ia berkata, “Rasulullah (ﷺ) menyebutkan kepada kami tercelanya mengobrol sesudah shalat ‘lsya’,” (Hasan, HR Ibnu Majah (703), Ahmad (1/389 dan 410), Ibnu Abi Syaibah (11/279), Ibnu Khuzaimah (1340), Ibnu Hibban (2031), al-Baihaqi (1/452)).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ( رضي الله عنه ), Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Tidak boleh mengobrol (malam hari) kecuali dua orang; Orang yang akan shalat atau musafir,” (Shahih lighairhi, HR Ahmad (1/379, 412, 444, 463), Abdurrazzaq (2130), ath-Thayalisi (294), al-Khathib al-Baghdadi (XIV/286), al-Baihaqi (1/452), Abu Ya’la (5378)).
Kandungan Bab:
1. At-Tirmidzi (1/318) mengatakan,
“Para ulama dari kalangan Sahabat berbeda pendapat tentang hukum mengobrol sesudah ’lsya, sebagian dari mereka melarangnya, sebagian lainnya mengkhususkan apabila untuk kegiatan belajar mengajar dan kebutuhan-kebutuhan penting, namun kebanyakan hadits-hadits menyebutkan adanya dispensasi untuk itu.”
2. Makruh hukumnya mengobrol sesudah Isya’, karena dapat menyebabkan mereka tidur hingga terlewat mengerjakan shalat Shubuh atau ter-lewat mengerjakan shalat malam.
3. Mengobrol yang dimaksud dalam bab di atas adalah mengobrol tentang perkara-perkara yang dibolehkan sebelum shalat ‘lsya’, Karena mengobrol tentang perkara-perkara haram tidak khusus dilarang sesudah shalat ‘lsya’ saja, bahkan dilarang setiap waktu.
4. Larangan ini tidak berlaku secara mutlak, dalam beberapa hadits shahih telah dikecualikan beberapa perkara, di antaranya:
a. Shalat dan safar, seperti yang disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud terdahulu b. Membicarakan masalah fiqih dan kebaikan, dalam hadits Anas ( رضي الله عنه ), ia berkata,
“Pada suatu malam kami menunggu Rasulullah (ﷺ) sampai tiba waktu tengah malam. Lalu beliau keluar dan mengimami kami shalat. Kemudian beliau berkhutbah, “Sesungguhnya, orang-orang telah shalat dan pergi tidur. Sedang kalian senantiasa dalam shalat selama kalian menunggu shalat.”
Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menunggu kebaikan,”
(Shahih, Tirmidzi (169), Ahmad (1/25, 26 dan 34), Ibnu Khuzaimah (1341), Ibnu Abi Syaibah (11/280), Ibnu Hibban (2034)).
Hadits inilah yang dijadikan dalil oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih beliau, bab: “Berbincang Tentang Masalah Fiqih dan Kebaikan Pada MalamHari.”
c. Berbincang bersama tamu dan keluarga. Imam Bukhari berhujjah dengan kisah perbincangan Abu Bakar dengan tamu dan anggota keluarganya di rumah pada malam hari, dalam perbincangan ter-sebut terdapat dialog, bujukan dan teguran. Semuanya termasuk perbincangan pada malam hari. d. Perbincangan tentang urusan kaum Muslimin. ’Umar bin Khaththab ( رضي الله عنه ). pernah mengatakan,
“Rasulullah (ﷺ) biasa berbincang dengan Abu Bakr pada malam hari tentang urusan kaum Muslimin. Pada suatu malam, aku pernah ikut berbincang bersama mereka berdua.” (HR Bukhari (600)).
e. Perincian itulah yang dipilih oleh ahli tahqiq dari kalangan ahli ilmu.
Imam al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (11/192),
“Adapun berbincang setelah ‘lsya’, para ahli ilmu dari kalangan Sahabat berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang menganggapnya makruh berdasarkan zhahir dari hadits Abu Barzah ( رضي الله عنه ). Sa’id bin al-Musayyab membenci tidur sebelum shalat ‘lsya dan mengobrol sesudahnya. Beliau berkata, ‘Tidur hingga terlewat shalat Isya’ lebih aku sukai daripada bermain-main sesudahnya’.”
Sebagian ulama memberi keringanan berbincang sesudah shalat ‘lsya’ dalam masalah ilmu dan dalam urusan-urusan yang penting, berbincang dengan keluarga dan tamu. Kebanyakan hadits-hadits Nabi memberi keringanan dalam masalah ini.
Imam asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authaar (1/417), ketika menjelaskan hadits ’Umar ( رضي الله عنه ) di atas,
“Hadits ini menunjukkan tidak adanya larangan berbincang sesudah shalat Isya’ jika untuk kepentingan agama, baik kepentingan umum maupun khusus. Adapun hadits Abu Barzah, Ibnu Mas’ud dan lainnya, dibawakan kepada hukum makruh. Atau, cara menggabungkan hadits-hadits tersebut adalah; Hadits-hadits yang melarang, dibawakan kepada pembicaraan yang tidak ada manfaat bagi pelakunya. Sementara hadits-hadits yang membolehkan, dibawakan kepada pembicaraan yang bermanfaat bagi pelakunya.”
Atau dapat juga dikatakan,
“Dalil makruhnya berbincang dan mengobrol sesudah shalat Isya’ termasuk dalil umum yang dikhususkan dengan dalil yang membolehkan berbincang dan mengobrol tentang perkara-perkara yang men-datangkan maslahat bagi kaum Muslimin.”
Imam an-Nawawi berkata,
“Para ulama sepakat atas makruhnya mengobrol setelah shalat ‘lsya’, kecuali mengobrol tentang masalah kebaikan.”
Ada yang mengatakan,
“lllat hukumnya adalah, perbuatan itu dapat membuatnya tidak tidur pada malam hari, sehingga dikhawatirkan ia sangat mengantuk lalu tertidur hingga terlewat mengerjakan shalat Shubuh dengan berjama’ah, atau terlambat mengerjakannya pada waktu yang afdhal dan terbaik (yakni di awal waktu), atau ia terlewat dari berdzikir dan shalat malam bagi yang biasa mengerjakannya. Atau paling tidak, pada siang hari ia akan terlihat malas menunaikan hak dan kewajiban atau mengerjakan amal-amal ketaatan.”
Sumber:
Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/367-370.
Oleh: Fani
Tanggal Penulisan: Friday, 05 September 2008
Sumber: http://alislamu.com/index.php?Itemid=67&id=1404&option=com_content&task=view
Tidak ada komentar:
Posting Komentar