Setiap muslim dewasa ini mengenal istilah Imsak, terutama di bulan Ramadhan. Imsak maksudnya adalah tidak makan dan minum pada waktu sahur karena waktu sudah mendekati subuh atau waktu sahur sudah dianggap habis.
Pada zaman Ibnu Hajar al-Atsqalani, ada bentuk lain dari imsak, yaitu memadamkan lampu sebagai pertanda haramnya meneruskan makan dan minum bagi siapa yang ingin berpuasa pada keesokan harinya.
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Hajar Al-Atsqalani mengatakan dalam Fathul Bari IV/199.
Catatan penting:
Termasuk bid'ah yang mungkar adalah apa yang di zaman sekarang ini direkayasa adanya, yaitu meletakkan kumandang adzan kedua pada tiga perempat sebelum subuh di bulan Ramadhan (maksudnya, melakukan adzan kedua beberapa menit sebelum waktu subuh yang sebenarnya), serta memadamkan lampu-lampu sebagai pertanda (telah datangnya waktu) haram untuk (melanjutkan) makan dan minum bagi yang berpuasa (keesokan harinya).
Orang yang membuat rekayasa ini beranggapan bahwa hal itu dimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui persis batas akhir waktu sahur hanya segelintir manusia.
Sikap hati-hati yang demikian juga menyebabkan mereka tidak diizinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat kemudian, supaya lebih mantap lagi (menurut mereka).
Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka mempercepat waktu sahur dan suka menyalahi sunnah Nabi. Oleh karena itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan tetapi banyak mendapatkan keburukan. Wallahul musta'an.
Itulah bid'ah yang terjadi pada zaman al-Hafizh Ibnu Hajar berkaitan dengan pembatasan waktu sahur sebelum subuh, dengan cara memadamkan lampu sebagai tanda waktu sahur telah habis.
Kini bid'ah itu muncul pula dalam bentuk imsak. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam mengatakan setelah memaparkan penjelasan hadits no. 177. (Lihat Taisir al-Allam Syarh Umdatul Ahkam)
Dengan ini kita dapat mengetahui bahwa dua waktu yang dibuat orang, yaitu waktu imsak untuk mulai tidak makan/minum di waktu sahur dan waktu terbit fajar adalah bid'ah, sama sekali tidak ada petunjuknya dari Allah. Itu hanya waswasah (bisikan) setan untuk mengotori kemurnian dienul Islam. Imsak (menahan makan dan minum) yang sebenarnya menurut sunnah Nabi Muhammad adalah pada saat terbit fajar itu sendiri.
Sementara itu, dalam Tamamul Minnah Daar Ar-Rayah, cet. IV 1417H, hal. 417 – 418 ketika membantah Sayyid Sabiq (penulis Fiqhus Sunnah) tentang pendapatnya bahwa:
Jika fajar terbit (pada bulan Ramadhan) sedangkan di mulut orang yang berpuasa masih ada makanan, maka wajib baginya untuk mengeluarkan makanan itu dari mulutnya.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan:
Ini merupakan sikap taklid beliau terhadap buku-buku fiqih, padahal tidak ada dalilnya, tidak ada tuntunannya dari sunnah Nabi. Bahkan menyelisihi sabda Rasulullah berikut ini:
Apabila seorang di antara kamu mendengar panggilan (adzan subuh) sedangkan tempat / nampan makanan masih ada di tangannya, maka hendaknya ia tidak meletakkan tempat makanan itu sebelum ia menghabiskan keperluan (sisa makanan) dari tempat makanan tersebut. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim. Hakim menshahihkan hadits ini dan begitu pula adz-Dzahabi. Ibnu Hazm juga mengeluarkan hadits tersebut dengan disertai tambahan sebagai berikut: Ammar (yakni Ammar bin Abi Ammar, perawi hadits yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah) mengatakan, Mereka (para sahabat) diizinkan untuk menyelesaikan sisa-sisa makanan bila fajar terbit)
Hammad (yakni Hammad bin Salamah) juga mengatakan dari Hisyam bin 'Urwah bahwa ia (Hisyam bin 'Urwah) mengatakan: Ayahku berfatwa demikian (menyelesaikan sisa makanan yang masih ada di tempat makanan jika fajar telah terbit). (Sanad riwayat di atas shahih sesuai persyaratan Muslim. Disamping itu, riwayat tersebut masih memiliki syahid-syahid (saksi-saksi riwayat penguat lain) yang telah saya (Al-Albani) sebutkan pada At-Ta'liqat Al-Jiyad dan juga dalam Silsilah Shahihah no. 1394)
Dengan demikian, berdasarkan riwayat tersebut, maka barangsiapa yang sedang makan sahur, kemudian diterjang terbitnya fajar, padahal di tangannya masih ada sisa makanan dan minuman, maka ia boleh menghabiskan sisa makanan atau minuman itu. Keadaan ini dikecualikan dari frman Allah:
Dan makanlah serta minumlah sebelum jelas benar bagimu, benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (al-Baqarah: 187).
Maka ayat ini, juga hadits-hadits yang semakna dengan ayat ini, tidak bertentangan dengan riwayat di atas. Dan riwayat di atas tidak pula bertentangan dengan ijma' (kesepakatan para sahabat). Bahkan sejumlah sahabat dan para tokoh ulama berpendapat sesuai dengan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut, yaitu bahwa sahur boleh dilakukan hingga fajar terlihat jelas, hingga cahaya keputih-putihan merata di jalan-jalan. (Lihat Fathul Bari IV/109-110)
Kemudian di antara kesimpulan terpenting riwayat hadits yang membolehkan orang menyelesaikan sisa makanan ketika fajar telah terbit adalah bahwa, imsak kira-kira seperempat (jam) sebelum subuh adalah bid'ah dan batil. Sebab mereka melakukan bid'ah imsak ini karena khawatir jika sahur mereka terlanggar oleh adzan subuh, (padahal untuk itu ada keringanan). Andai saja mereka memahami adanya keringanan ini, tentu mereka tidak akan terjatuh ke dalam bid'ah tersebut.
Demikian keterangan Syaikh Al-Albani rahimahullah (dengan terjemahan bebas, -red. majalah As- Sunnah). Wallahul musta'an.
Sumber: majalah As-Sunnah 07/III/1419H hal 18 - 19
http://www.vbaitullah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar