Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah kita apa kunci surga itu? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.
Tetapi kita tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shålallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallåh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).
Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallåh, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka ? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallåh, tetapi mereka masih meminta-minta (berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya ? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga ? Tidak mungkin !
Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallåh itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.
Al-Iman Bukhåri meriwayatkan dalam Shohih-nya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Wahab bin Munabbih (seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) ditanya: “Bukankah Laa ilaaha illallåh itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan di bukakan untukmu !”.
Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallåh itu ? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallåh itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illallåh ! Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallåh itu ada delapan, yaitu :
Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui)
Artinya memahami makna (yakni memahami bahwa makna Laa ilaaha illallåh adalah bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah/diibadahi melainkan Allåh) dan maksudnya (yakni memahami segala konsekuensi yang ada didalamnya, pembatal-pembatalnya dll.), Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya :... Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya). [Az-Zukhruf : 86]
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya, dan dibuktikan dengan perbuatannya.
Sekiranya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna. Begitupun, jikalau ia mengerti maknanya dan melakukan persaksian, tapi persaksiannya tersebut tidak diikuti dengan perbuatan yang membenarkan persaksiannya, maka sama saja, persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.
Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini)
Maksudnya adalah kita harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallåh tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syhadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga. (HR. Muslim).
Jadi, Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan sya-hadat itu. Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu ..." [Al-Hujurat : 15]
Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi shållallåhu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) Surga." [HR. Al-Bukhari]
Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.
Ketiga : Al-Qobulu (manerima)
Maksudnya kita harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallåh dengan senang hati, lisan dan perbuatan, tanpa menolak sedikitpun. kita tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka : (ucapkanlah) Laa ilaaha illallåh, mereka menyombongkan diri seraya berkata : Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “ (QS. As-Shoffat : 35-36).
Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; yaitu menyembah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selainNya.
Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta'ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah:
"Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: 'Laa ilaaha illallah' (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [Ash-Shafat: 35-36]
Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum me-nerima makna laa ilaaha illallah.
Keempat : Al-Inqiyaadu (tunduk atau patuh)
Maksudnya kita harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallåh dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Kembalilah ke jalan Tuhanmua, dan tunduklah kepada-Nya. “ (QS. Az-Zumar : 54).
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya):
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul (ikatan) tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallåh). “(QS. Luqman : 22).
Al-'Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan makna yuslim wajhahu adalah yanqadu (patuh, pasrah). [Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (-pent)].
Kelima : Ash-Shidqu (jujur atau benar)
Maksudnya kita harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallåh, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Shålallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “ (HR. Bukhåri dan Muslim).
Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepa-da Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." [Al-Baqarah: 8-10]
Keenam : Al-Ikhlas (ikhlas atau murni)
Maksudnya kita harus membersihkan amalan kita dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain, yang merupakan syirik ashghår, yang dosanya lebih besar dari zina dan merampok), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya.
Nabi Shålallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallåh semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla. “(HR. Bukhåri dan Muslim).
Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai)
Maksudnya kita harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang di cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya). “ (QS. Al-Baqarah : 165).
Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan Ahlus Syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallåh.
Kedelapan : Al-Kufru bimaa siwaahu (mengingkari sesembahan yang lainnya)
Maksudnya kita harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga kita harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah-sembah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya): “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallåh), yang tidak akan putus….”(QS. Al-Baqoroh : 256).
Saudaraku kaum muslimin dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallåh hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah !
Wallahu a’lamu bish showwab
Sumber:
- Kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq
- BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 13 / Shafar / 1425
Tidak ada komentar:
Posting Komentar