Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum bepergian ke negara kafir ? Dan apa hukum bepergian untuk maksud wisata ?
Jawaban.
Tidak boleh bepergian ke negara kafir kecuali dengan tiga syarat.
Syarat Pertama : Memiliki ilmu yang dapat membantah keraguan
Syarat Kedua : Memiliki pondasi agama yang kuat yang bisa melindunginya dari dorongan syahwat
Syarat Ketiga : Membutuhkan kepergian tersebut.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak boleh bepergian ke negara kafir karena bisa menimbulkan fitnah atau dikhawatirkan akan terkena fitnah, disamping hal ini merupakan penyia-nyiaan harta, karena pada perjalanan semacam ini biasanya seseorang mengeluarkan banyak uang, di samping hal ini malah menyuburkan perkenomian kaum kuffar.
Tapi jika ia memang memerlukannya, misalnya untuk berobat atau menuntut ilmu yang tidak tersedia di negaranya, sementara ia pun telah memiliki ilmu dan agama yang kuat sebagaimana kriteria yang kami sebutkan, maka tidak apa-apa.
Adapun bepergian untuk tujuan wisata ke negara-negara kafir, itu tidak perlu, karena ia masih bisa pergi ke negara-negara Islam yang memelihara penduduknya dengan symbol-simbol Islam. Negara kita ini, alhamdulillah, kini telah menjadi negara wisata di beberapa wilayahnya. Dengan begitu ia bisa bepergian ke sana dan menghabiskan masa liburnya di sana.
[Al-Majmu Ats-Tsamin, Juz I, hal 49-50, Syaikh Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 349-350 Darul Haq]
________________________________________________________________________
SYARAT TINGGAL DI NEGRI KAFIR
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
[Pembahasan 'Syarat Tinggal Di Negri Kafir' merupakan salah satu bagian dari syarah atau penjelasan 'Kitab Tiga Landasan Utama' yang di tulis oleh Syaikhul Islam Al-Mujaddid Muhammad At-Tamimi.]
___________________________________
Allah berfirman.
"Hai hamba-hambaKu yang beriman, sesungguhnya bumiKu luas, maka sembahlah Aku saja". [Al-Ankabut : 56]
Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkata : "Ayat ini turun kepada orang-orang Islam yang tinggal di Makkah dan tidak ikut berhijrah. Allah menyeru mereka dengan sebutan 'beriman'" [I]
Dalil atas wajibnya hijrah dari As-Sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [1] : " Hijrah tidak terhenti sebelum terputusnya taubat dan taubat tidak terputus hingga matahari terbit dari barat" [II]
___________________________________
[I]. Tampaknya pengarang menukil dari ucapan Imam Al-Baghawi Rahimahullah secara makna saja, hal ini jika beliau menukil dari kitab Tafsir Al-Baghawi, karena ternyata di dalam tafsir Al-Baghawi tidak ditemui kalimat seperti yang disebutkan oleh syaikh.
[II]. Ini sebagai tanda akhir tidak diterimanya amal shaleh, sesuai firman Allah yang artinya : "Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia belum mengusahakan kebaikan dalam masa imannya" [Al-An'aam : 158]
Yang dimaksud dengan sebagian tanda-tanda Tuhanmu adalah terbitnya matahari dari barat.
Untuk melengkapi penjelasan ini perlu saya sebutkan hukum bepergian ke negara kafir. Saya katakan, bepergian ke negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali telah memenuhi tiga syarat :
Pertama : Hendaknya Seseorang Memiliki Cukup Ilmu Yang Bisa Memelihara Dirinya Dari Syubhat.
Kedua : Hendaknya Memiliki Agama Yang Kuat Untuk Menjaga Agar Tidak Terjatuh Dalam Syahwat.
Ketiga : Hendaknya Ia Benar-Benar Berkepentingan Untuk Bepergian.
Bagi yang belum bisa menyempurnakan syarat-syarat di atas tidak diperbolehkan pergi ke negeri kafir, karena hal itu akan menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah yang besar dan menyia-nyiakan harta saja. Sebab orang yang mengadakan bepergian biasanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Jika ada suatu keperluan seperti berobat, mempelajari ilmu yang tidak ditemukan di negeri asal, maka hal itu diperbolehkan dengan catatan memenuhi syarat yang saya sebutkan di atas. Adapun masalah rekreasi ke negeri kafir, bukanlah suatu kebutuhan, karena ia bisa saja pergi ke negeri Islam yang menjaga syari'at Islam. Negeri kita ini, alhamdulillah ada beberapa tempat yang cocok dan bagus untuk dibuat rekreasi ketika masa liburan.
Adapun masalah menetap atau tinggal di negeri kafir sangatlah membahayakan agama, akhlaq dan moral seseorang. Kita telah menyaksikan banyak orang yang tinggal di negeri kafir terpengaruh dan menjadi rusak, mereka kembali dalam keadaan tidak seperti dulu sebelum berangkat ke negeri kafir. Ada yang kembali menjadi orang fasik atau murtad, bahkan mungkin mengingkari seluruh agama, sehingga banyak dari mereka pulang ke negerinya menjadi penentang dan pengejek agama Islam, melecehkan para pemeluk agama Islam, baik yang terdahulu mupun yang ada sekarang, na'udzu billah. Oleh karena itu wajib bagi yang mau pergi ke negeri kafir menjaga dan memperhatikan syarat-syarat yang telah saya sebutkan di atas agar tidak terjatuh ke dalam kehancuran.
Bagi Yang Ingin Menetap Di Negeri Tersebut (Kafir), Ada Dua Syarat Utama :
Pertama : Merasa Aman Dengan Agamanya.
Maksudnya, hendaknya ia memiliki ilmu, iman dan kemauan kuat yang membuatnya tetap teguh dengan agamanya, takut menyimpang dan waspada dari kesesatan. Ia harus menyimpan rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang-orang kafir serta tidak sekali-kali setia dan mencintai mereka, karena setia dan mengikat cinta dengan mereka bertentangan dengan iman. Firman Allah.
"Kamu tidak mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka" [Al-Mujadilah : 22]
Firman Allah.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu, termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim, maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasharani) seraya berkata :'Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada rasulNya) atau suatu keputusan dari sisiNya, maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka" [Al-Maidah : 51-52]
Dalam sebuah hadits shahih Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya barangsiapa yang mencintai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka, seseorang selalu bersama dengan orang yang ia cintai" [2].
Mencintai musuh Allah adalah bahaya yang paling besar pada diri muslim, karena mencintai mereka berarti mengharuskan seorang muslim untuk setuju mengikuti mereka atau paling tidak mendiamkan kemungkaran yang ada pada mereka. Oleh karena itu Nabi besabda : "Barangsiapa mencintai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka". [3]
Ia bebas melakukan shalat fardhu, shalat Jum'at dan shalat berjama'ah jika ada yang diajak shalat berjama'ah dan Jum'at, menunaikan zakat, puasa, haji dan syi'ar Islam lainnya. Jika ia tidak mampu melakukan hal di atas, maka tidak diperbolehkan tinggal di negeri kafir. Karena dalam keadaan seperti ini wajib baginya hijrah dari tempat seperti itu.
Pengarang kitab Al-Mughni (8/457) menyatakan tentang macam-macam manusia yang diwajibkan hijrah. Diantaranya orang yang mampu melakukannya sementara di tempat tinggalnya ia tidak mampu menampakkan agamanya dan tidak bisa menunaikan kewajiban agamanya, maka dalam keadaan seperti ini wajib baginya melakukan hijrah berdasarkan firman Allah.
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada mereka) malaikat bertanya : 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini.?' Mereka menjawab :'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)'. Para malaikat berkata : "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' Orang-orang itu tempatnya di Neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". [An-Nisaa : 97]
Ancaman yang sangat berat dalam ayat ini menunjukkan bahwa hijrah hukumnya wajib, karena melaksanakan kewajiban adalah wajib bagi orang yang mampu melaksanakannya, sedangkan hijrah merupakan salah satu hal yang penting dan pelengkap dari kewajiban agama tersebut. Maka jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan adanya suatu yang lain, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitabul Jihad, bab 'Apakah Hijrah Telah Terputus", Ahmad, 1/192, Ad-Darimi, Kitabus Siar, bab "Hijrah Belum Terputus", Al-Haitsami dalam kitab "Majma'uz Zawa'id" 5/250, dia berkata : "Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa'i sebagai hadits Mu''awiyah, dan Ahmad dan Ath-Thabrani. Meriwayatkan pula dalam kitab "Al-Awsath" dan "Ash-Shagir" riwayat dari selain Ibnu As-Sa'di. Rijal hadits Ahmad kuat".
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Kitabul Adab, bab "Tanda Kecintaan Kepada Allah Ta'ala", dan Muslim, Kitabush Shilah, bab "Seseorang itu Bersama Orang yang Dicintainya
[3]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Kitabul Adab, bab "Tanda Kecintaan Kepada Allah Ta'ala", dan Muslim, Kitabush Shilah, bab "Seseorang Itu Bersama Orang yang Dicintainya"
[Disalin dari Syarhu Tsalatsatil Ushul, edisi Indonesia Penjelasan Kitab Tiga Landasan Utama, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq hal. 221-226, penerjemah Zainal Abidin Syamsudin, Ainul Haris Arifin]
____________________________________________
Setelah dua syarat pokok tersebut bisa terpenuhi maka tinggal di negeri kafir terbagi menjadi.
Pertama.
Ia tinggal untuk tujuan dakwah menarik orang kedalam Islam. Ini adalah bagian dari Jihad dan hukumnya fardhu kifayah bagi yang mampu untuk itu dengan syarat bisa merealisasikan dakwah tersebut dengan baik dan tidak ada yang mengganggu atau menghalanginya, karena berdakwah kepada Islam adalah wajib. Itulah jalan yang ditempuh oleh para utusan Allah. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya menyampaikan ajaran Islam, walaupun satu ayat, di mana dan kapan saja mereka berada. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Kitabul Anbiya', bab "Penyebutan Bani Israel"]
Kedua.
Ia tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengenal sejauh mana kerusakan aqidah, kezhaliman, akhlaq, moral dan kehancuran sistim peribadatan orang-orang kafir. Dengan demikian ia bisa memperingatkan orang-orang untuk tidak terpengaruh dan tergiur dengan mereka dan ia bisa menjelaskan kepada orang-orang yang kagum dengan mereka. Ini juga termasuk bagian dari jihad, karena bertujuan menjelaskan kehancuran agama orang-orang kafir. Dan ini secara tidak langsung mengajak manusia kembali kepada Islam, karena kerusakan kaum kafir menjadi bukti atas kebenaran agama Islam, seperti disebutkan kata mutiara : "Sesuatu menjadi jelas dengan mengetahui kebalikannya". Tetapi dengan syarat keinginan terealisir tanpa kemudharatan yang lebih besar daripadanya. Jika tidak terealisir maksud dan tujuan tiggal di negeri kafir seperti tersebut di atas, maka tidak ada faedahnya ia tinggal di negeri kafir. Jika ia bisa merealisasikan maksud dan tujuannya tapi kemudharatan yang ditimbulkan lebih besar, seperti orang-orang kafir membalasnya dengan ejekan, memaki Islam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan imam-imam Islam, maka wajib baginya menghentikan kegiatan tersebut berdasarkan firman Allah.
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan" [Al-An'aam : 108]
Termasuk dalam bagian ini adalah orang Islam yang tinggal di negeri kafir untuk menjadi intel (mata-mata) guna mengetahui rencana orang kafir terhadap umat Islam, selanjutnya ia menginformasikan rencana tersebut kepada orang-orang Islam agar berhati-hati dan mengerti tentang tipu daya musuh Islam. Hal ini pernah dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat beliau mengirimkan Hudzaifah bin Yaman ke tengah-tengah orang musyrikin di saat perang Khandaq untuk mengetahui keadaan mereka. [Diriwayatkan oleh Muslim, Kitabul Jihad, bab "Perang Ahzab"]
Ketiga.
Ia tinggal sebagai duta bangsa atau kepentingan diplomasi dengan negera kafir, seperti menjadi pegawai di kedutaan, maka hukumnya tergantung tujuannya. Seperti atase kebudayaan yang bertujuan memantau dan mengawasi para pelajarnya di negera kafir agar mereka tetap komitmen terhadap agama Islam, baik dari segi akhlaq maupun moral. Dengan demikian tinggalnya di tempat tersebut mendatangkan maslahat yang sangat besar dan mampu mencegah kerusakan besar yang akan terjadi.
Keempat.
Ia tinggal untuk kepentingan pribadi seperti berdagang dan berobat, maka di perbolehkan baginya tinggal sebatas keperluan yang ada dan sebagian ulama ada yang membolehkan tinggal di negeri kafir untuk tujuan berniaga berdasarkan sebuah atsar dari sebagian sahabat.
Kelima.
Ia tingggal untuk tujuan belajar. Ini seperti bagian sebelumnya yaitu tinggal untuk suatu keperluan, tetapi ini lebih berbahaya dan lebih mudah merusak aqidah dan akhlaq seseorang. Karena biasanya seorang mahasiswa merasa rendah diri dan menganggap tinggi ilmu pengajarnya, sehingga dengan mudah ia terpengaruh pemikiran, pendapat, akhlaq dan moral mereka. Selanjutnya ia mengikuti mereka kecuali orang-orang yang dikehendaki dan dilindungi Allah. Dan ini sangat sedikit jumlahnya. Selanjutnya mahasiswa atau pelajar biasanya selalu membutuhkan pengajarnya yang akhirnya ia terikat dengannya dan membiarkan kesesatan karena kebutuhan pada gurunya. Lalu di tempat belajar, biasanya ia memerlukan teman bergaul. Ia bergaul dengan sangat akrab satu sama lain serta saling mencintai. Karena bahaya itulah hendaknya ia berhati-hati.
[Disalin dari Syarhu Tsalasatil Ushul, edisi Indonesia Penjelasan Kitab Tiga Landasan Utama oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq hal. 226-228, penerjemah Zainal Abidin Syamsudin, Ainul Haris Arifin]
Bagi pelajar yang ingin tinggal di negeri kafir untuk menuntut ilmu, di samping memenuhi dua syarat yang sudah disebutkan di atas, ia harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini.
Pertama.
Seorang yang hendak belajar memiliki kematangan berfikir, bisa memisahkan antara yang bermanfaat dan yang mudharat serta berwawasan jauh ke depan. Adapun pengiriman para pemuda belia yang masih dangkal pemikirannya, maka hal itu sangat berbahaya bagi aqidah, akhlaq, dan moral mereka, juga berbahaya bagi umat Islam. Di saat mereka pulang ke negerinya, mereka akan menyebarkan racun pemikiran yang mereka ambil dari orang-orang kafir, seperti telah banyak kita saksikan. Para pelajar yang dikirim ke negeri kafir itu berubah sekembali mereka ke negeri masing-masing. Mereka pulang dalam keadaan rusak agama, akhlaq, moral serta pemikirannya, hal yang sangat berbahaya bagi diri mereka sendiri serta masyarakat. Itulah yang kita saksikan secara nyata dan riil. Pengiriman para pelajar seperti mereka ke negeri kafir bagaikan kita menyajikan daging segar kepada anjing yang lagi kelaparan.
Kedua.
Seorang yang mau belajar hendaknya memiliki ilmu syari'at yang cukup, agar ia mampu membedakan antara yang benar dengan yang batil, mampu mencerna dan menghindar dari kebatilan agar ia tidak tertipu olehnya sehingga menyangka bahwa hal tersebut benar, atau merasa ragu dan kabur, atau tidak mampu melawan kebatilan tersebut akhirnya menjadi bimbang atau hanyut oleh arus kebatilan.
Dalam sebuah do'a disebutkan :
"Ya Allah perlihatkan kepadaku kebenaran sebagai suatu yang benar lalu berikan kepadaku kekuatan untuk mengikutnya, dan perlihatkanlah kepadaku kebatilan sebagai yang batil dan berikan padaku kekuatan untuk menghindarinya dan janganlah Engkau kaburkan sehingga saya tersesat".
Ketiga.
Hendaknya seseorang yang mau belajar memiliki agama yang kuat sehingga bisa membentengi diri dari kekufuran dan kefasikan. Sebab orang yang lemah agamanya tidak mungkin selamat untuk tinggal di negeri kafir tersebut, kecuali yang dikehendaki Allah. Hal itu dikarenakan kuatnya serangan dan pengaruh, sementara yang bersangkutan tidak mampu mengadakan perlawanan. Banyak sekali hal-hal yang menimbulkan kekafiran dan kefasikan. Jika orang tersebut lemah agamanya, tidak memiliki kekuatan untuk melawan pengaruh tersebut, maka dengan mudah kekufuran mempengaruhinya.
Keempat.
Ia belajar untuk mengkaji ilmu yang sangat bermanfaat bagi umat Islam yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah dalam negeri mereka. Jika ilmu tersebut kurang bermanfaat bagi umat Islam atau bisa di dapat di sekolah-sekolah dalam negeri mereka, maka tidak diperbolehkan tinggal di negeri tersebut untuk tujuan belajar. Karena hal itu sangat berbahaya bagi agama, akhlaq, dan moral mereka. Juga hanya menghambur-hamburkan harta saja dengan tidak ada gunanya.
Kelima.
Ia tinggal di negeri kafir untuk selamanya sebagai penduduk asli, ini lebih bahaya dari sebelumnya, karena kerusakan akibat berbaur dengan orang-orang kafir. Sebagai warga negara yang disiplin ia harus mampu hidup bersama-sama dengan anggota masyarakat secara harmonis, saling mencintai dan tolong menolong di antara sesama. Ia juga memperbanyak penduduk negara kafir. Ia terpengaruh dengan adat kebiasaan orang kafir dalam mendidik dan mengarahkan keluarganya yang mungkin akan mengikuti aqidah dan cara ibadahnya.
Oleh karena itu Nabi bersabda : "Barangsiapa berkumpul dan tinggal bersama orang musyrik, maka ia akan seperti mereka" [1]. Hadits ini walaupun dha'if dalam sanad-nya tapi isinya perlu mendapat perhatian. Karena kenyataan berbicara, orang yang tinggal di suatu tempat dipaksa untuk menyesuaikan diri.
Dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal bersama-sama dengan orang-orang musyrik" Mereka bertanya : "Kenapa wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab : "Tidak boleh saling terlihat api keduanya"[2]. Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan kebanyakan para perawi meriwayatkan hadits ini secara mursal dari jalan Qais bin Abi Hazim dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tirmidzi berkata : "Saya mendengar Muhammad (yang dimaksud Al-Bukhari) berkata bahwa hadits Qais dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diriwayatkan secara mursal".
Bagaimana seorang muslim merasa tenang hidup dan bertempat tinggal di negeri kafir yang secara terang-terangan syi'ar kekafiran itu dikumandangkan dan hukum yang diterapkan adalah hukum thagut yang memusuhi hukum Allah dan RasulNya, semua itu ia lihat dan ia dengar dengan perasaan rela. Ia merasa tentram tinggal di negeri tersebut layaknya hidup di negeri kaum muslimin dengan keluarganya, padahal ini sangat berbahaya bagi agama dan akhlak keluarga serta anak-anak mereka.
Demikianlah yang bisa saya paparkan tentang hukum tinggal di negeri kafir. Saya mohon kepada Allah agar penjelasan saya ini sesuai dengan kebenaran.
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitabul Jihad, bab "Tinggal di Negeri Orang-Orang Musyrik
[2]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitabul Jihad, bab "Larangan Membunuh Orang yang Menyelamatkan Diri Dari Bersujud", dan At-Tirmidzi, Kitabus Siar, bab "Makruhnya Tinggal Di Antara Orang-Orang Musyrik"
[Disalin dari buku Syrhu Tsalatsatil Ushul, edisi Indonesia Penjelasan Kitab Tiga Landasan Utama, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darul Haq hal 228-231, penerjemah Zainal Abidin Syamsudin, Ainul Haris Arifin]
_____________________________________________________________________
MENUNTUT ILMU UNTUK MERAIH MATERI DAN IJAZAH
Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dilema yang berkembang di kalangan para pelajar (mahasiswa) terutama di fakultas-fakultas dan lembaga-lembaga pengajaran, ungkapan bahwa "ilmu telah sirna bersama para ahlinya. Tidak ada seorang pun yang belajar di lembaga-lembaga pengajaran kecuali untuk memperoleh ijazah dan materi." Bagaimana menyangkal mereka dan apa hukumnya bila terpadu antara tujuan materil dan ijazah dengan niat menuntut ilmu untuk kemanfaatan diri dan masyarakatnya?
Jawaban
Pernyataan ini tidak benar, ungkapan-ungkapan seperti ini tidak pantas diungkapkan, siapa yang mengatakan 'binasalah manusia', sebenarnya dia sendiri yang paling binasa.
Seharusnya yang diungkapkan adalah berupa sugesti dan dorongan untuk menuntut ilmu, konsentrasi dengan ilmu, kecuali yang memang benar-benar diketahui demikian adanya.
Diriwayatkan, bahwa ketika ajal hampir menjemput Mu'adz, ia berwasiat kepada orang-orang yang di sekitarnya untuk menuntut ilmu, ia mengatakan, "Sesungguhnya kedudukan ilmu dan iman adalah bagi yang menghendaki dan mengusahakannya." Maksudnya, bahwa kedudukan ilmu dan iman adalah di dalam Kitabullah yang agung dan Sunnah RasulNya yang terpercaya. Karena sesungguhnya seorang alim itu akan mati bersama ilmunya, jadi ilmu itu dicabut dengan matinya para ulama. Namun alhamdulillah, masih ada golongan yang ditolong dalam mempertahankan kebenaran.
Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan sekali pencabutan begitu saja dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama, sehingga tatkala tidak ada lagi orang alim, manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya (tentang ilmu) kemudian merekapun memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga (akibatnya) mereka sesat dan menyesatkan."[1]
Inilah yang ditakutkan, yaitu ditakutkan akan tampilnya orang-orang bodoh yang memberi fatwa dan pelajaran sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Inilah yang dimaksud dari ungkapan "ilmu telah sirna dan yang ada hanya ini dan itu." Dikhawatirkan hal ini akan meredupkan ambisi sebagian orang, walaupun sebenarnya orang yang teguh dan berakal tidak akan tergoyahkan dengan itu, bahkan akan memotivasinya untuk lebih giat menuntut ilmu hingga bisa menutupi kelangkaan/kelowongan.
Orang faham yang ikhlas, yang berpandangan jernih, tidak akan terpengaruh dengan ungkapan seperti tadi, bahkan sebalik-nya ia akan maju dan bersemangat, bergegas dan belajar karena kebutuhannya terhadap ilmu dan untuk mengisi kelowongan, yaitu yang diklaim oleh mereka yang mengatakan bahwa 'tidak ada lagi orang alim. Padahal, walaupun ilmu telah berkurang karena meninggalkan sebagian besar para ahlinya, namun alhamdulillah, masih tetap ada golongan yang dibela dalam mempertahankan kebenaran, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Akan tetap ada golongan dari umatku yang mempertahankan kebenaran, mereka tidak akan dicelakakan oleh orang-orang yang menghinakannya hingga datangnya ketetapan Allah."[2]
Maka hendaknya kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, mendorong dan memotivasi untuk menutupi kelowongan tersebut serta melaksanakan kewajiban di medan kita dan yang lainnya, sebagai manifestasi dalil-dalil syari'at yang menganjurkan hal tersebut, dan untuk memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan mengajari mereka. Di samping itu, hendaknya kita memotivasi untuk melaksanakan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan dalam menuntut ilmu.
Barangsiapa yang mengharapkan ijazah untuk mengokohkannya dalam menyampaikan ilmu dan mengajak kepada kebaikan, maka itu baik, bahkan sekali pun sambil mengharapkan materi dalam hal ini. Jadi, tidak apa-apa belajar dan memperoleh ijazah, yang dengan itu ia bisa menyebarkan ilmu dan dengan itu pula ilmunya bisa diterima. Bahkan boleh juga menerima materi yang dapat membantunya dalam kegiatan penyampaikan ilmu ini, karena, jika bukan karena Allah ta’ala kemudian materi, tentu banyak orang yang tidak dapat belajar dan menyampaikan dakwah. Materi bisa membantu seorang muslim untuk menuntut ilmu, memenuhi kebutuhannya dan menyampaikan ilmu kepada orang lain. Adalah Umar Radiyallahu ‘anhu, ketika ditugasi dengan berbagai pekerjaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya materi (upah), tapi lalu Umar mengatakan, "Berikan saja kepada orang yang lebih membutuhkan daripada aku." maka Nabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Ambillah lalu kembangkanlah atau sedekahkanlah. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini sementara engkau tidak mengharapkan dan tidak memintanya, maka ambillah. Adapun yang tidak demikian, maka jangan engkau sertakan dirimu di dalamnya."[3]
Nabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kepada orang-orang yang dibujuk hatinya untuk memotivasi mereka sehingga mereka masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Seandainya itu terlarang, tentu beliau tidak akan memberi mereka. Namun kenyataannya, beliau memberikan itu, baik sebelum maupun setelah penaklukkan kota Makkah.
Pada hari penaklukkan Makkah, ada orang yang diberi seratus ekor unta oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada juga yang diberi banyak harta sehingga tidak takut jatuh miskin. Ini semua untuk menyukakan mereka terhadap Islam dan untuk mengajak mereka ke dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menetapkan bagian dari zakat untuk orang-orang yang dibujuk hatinya, juga menetapkan bagian bagi mereka dari baitul mal, juga untuk selain mereka, yaitu; para pengajar, para da'i dan lain sebagainya. Wallahu waliyut taufiq.
__________
Foote Note
[1]. HR. AI-Bukhari dalam kitab shahihnya pada kitab Al-'Ilm (100).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Imarah (1290).
[3]. Dikeluarkan oleh AI-Bukhari dalam Az-Zakah (1473), Muslim dalam kitab shahihnya, Az-Zakah (1045).
[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 67, hal. 157-160, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar