21 Juni 2009

MEMAHAMI NEGRI MUSLIM & NEGRI KAFIR

بسم الله الرحمن الرحيم

Menggunakan aturan selain hukum Allah belum tentu menyebabkan seseorang terjatuh kepada kekafiran besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Bisa saja pelakunya hanya kufur kecil dan tidak keluar dari Islam. Harus ada perincian dan penelitian terhadap orang yang menggunakan selain hukum Allah. Tidak serta merta kita bisa mengkafirkannya. Perincian tersebut berkaitan dengan pelaku pengguna hukum selain hukum Allah.

Apakah negara yang menggunakan hukum sekuler serta merta dapat disebut sebagai negara kafir?

Vonis kafir terhadap suatu negri mempunyai akibat yang berlanjut. Hal ini sebagaimana vonis kafir terhadap seseorang, suatu kelompok, ataupun penguasa. Vonis kafir terhadap manusia berkonsekwensi penghalalan darah dan harta, pembatalan pernikahan, terhalangnya saling mewarisi, dan banyak hukum lainnya berkaitan dengan hukum murtad. Vonis kafir terhadap penguasa berpotensi berlanjut kepada pembangkangan terhadap penguasa tersebut, angkat senjata dan pemberontakan.

Vonis kafir terhadap suatu negara akan mempunyai konsekwensi bahwa negara tersebut sewaktu-waktu boleh diserang oleh kaum muslimin jika sudah punya kemampuan. Jika vonis tersebut salah, bisa-bisa yang terjadi adalah muslim membantai muslim. Kita berlindung dari hal tersebut.

ISLAMNYA SUATU NEGRI

Para ulama memang membagi daerah menjadi dua macam: Darul Islam (negri Islam) dan Darul Kufur (negri kafir). Terdapat perselisihan pendapat tentang patokan dalam menghukumi suatu negri sebagai negri Islam atau negri kafir. Mayoritas ulama berpendapat bahwa indikasi yang dijadikan patokan dalam menghukumi suatu negri sebagai negri Islam atau kafir adalah nampaknya hukum-hukum Islam. Namun mereka juga berselisih tentang maksud nampaknya hukum-hukum Islam ini. Apakah nampaknya hukum-hukum Islam yang dimaksud itu adalah sikap dan amalan pemerintahnya ataukah amalan penduduk negri itu dari syi'ar-syi'ar Islam yang tampak seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at dan shalat 'Ied?

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa pendapat kedua-lah yang benar. Negri Islam adalah negri yang tampak syi'ar Islam dari penduduk negri itu, seperti shalat lima waktu, shalat Jum'at dan shalat 'Ied.
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu menceritakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menyerang daerah musuh ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar adzan, maka beliau menahan diri, dan jika tidak mendengar adzan maka beliau menyerang." (HR. Bukhari - Muslim)

Adanya suara adzan menjadikan pasukan muslim menahan serangan. Hal ini menunjukkan Islamnya daerah yang akan diserang itu sehingga ketika sudah nampak Islamnya melalui adzan, maka daerah itu tidak jadi diserang.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa adzan menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negri daerah tersebut karena adzan tersebut merupakan dalil atas keislaman mereka." (Syarh Shahih Muslim, IV/84).

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, "Adzan adalah tanda yang membedakan Darul Islam dan Darul Kufur." (Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, VI/225)

Isham Al-Muzani rahimahullah berkata, "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau bersabda, 'Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorang pun!" (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzi. Syaikh Al-Albani men-dha'ifkan hadits ini dalam Dha'if Sunan Abu Daud).

Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengomentari hadits ini, "Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negri maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal: adanya masjid atau mendengar adzan." (Nailul Authar, VII/287).

Ibnu Taimiyah rahimahullah menguatkan pendapat ini, "Keberadaan suatu tempat sebagai negri kafir atau negri iman atau negri orang-orang fasik bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi dia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya, setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertakwa maka tempat tersebut adalah negri para wali Allah pada saat itu, setiap jengkal tanah yang penduduknya orang-orang fasik, maka dia adalah negri kefasikan pada saat itu, dan jika penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negri itu adalah negri mereka." (Majmu' Fatawa, XVIII, 282).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata, "Yang dimaksud negri syirik adalah negri yang menampakkan syi'ar kekafiran dan tidak bisa ditegakkan syi'ar Islam di dalamnya secara menyeluruh seperti adzan, shalat jama'ah, shalat hari raya, dan shalat Jum'at. Saya katakan menyeluruh karena ada sebagian tempat yang menegakkan syi'ar Islam tapi hanya terbatas pada tempat tertentu, seperti yang dilakukan oleh kaum minoritas muslim yang hidup di negri kafir. Ini tidak bisa dikategorikan negri Islam. Yang bisa dikatakan negri Islam hanya negri yang mampu menegakkan dan menghidupkan syi'ar Islam secara menyeluruh di setiap tempat negri tersebut. (Syarh Tsalatsatil Ushul, 129-130).

Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa jika di suatu negri, syi'ar Islam seperti shalat jama'ah, adzan, shalat 'Ied, shalat Jum'at, dapat ditegakkan dan nampak di seluruh negri maka negri tersebut adalah negri Islam, meskipun penguasanya tidak menerapkan syari'at Islam.

DARI NEGRI ISLAM KE NEGRI KAFIR

Melihat penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah di atas, bisa jadi suatu negri berubah statusnya, dari negri Islam menjadi negri kafir. Pendapat yang terkuat dari para ulama adalah negri Islam tidak berubah menjadi negri kafir dengan sekedar dominannya hukum-hukum kekafiran di negri itu, atau sekedar berkuasanya orang-orang kafir pada negri itu, selama para penduduk negri itu masih mampu mempertahankan keislaman mereka, bahkan selama mereka masih mampu menegakkan syi'ar-syi'ar Islam, khususnya shalat.

Ad-Dasuqy berkata, "Sesungguhnya negri Islam tidaklah berubah menjadi darul harby (negri kafir yang boleh diperangi) sekedar dengan penguasaan orang-orang kafir atasnya, tetapi hingga terputus penegakkan syi'ar-syi'ar Islam darinya, adapun selama tetap ditegakkan syi'ar-syi'ar Islam atau sebagian besar darinya, maka tidaklah dia berubah menjadi darul harby." (Hasyiyah Dasuqi, II/188)

Contoh berubahnya negri Islam menjadi negri kafir adalah negri Andalusia di Spanyol. Ketika orang kafir menguasai kaum muslimin, sehingga kaum muslimin dibantai dan diusir hingga syi'ar-syi'ar Islam yang dulunya ada lalu dihukumi tidak ada, maka berubahlah negri yang sempat melahirkan ulama seperti Imam Al-Quthubi rahimahullah ini menjadi darul harbi.

TUDUHAN TANPA DASAR

Dengan penjelasan ulama di atas, kita bisa mengkritisi cara pandang yang keliru bahwa negri yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah serta merta divonis sebagai negri kafir. Cara pandang inilah yang menghasilkan tindakan terorisme.

Contoh cara pandang yang keliru ini adalah perkataan Usmah bin Ladin, "Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyah itu. Adapun Pakistan, dia memakai undang-undang Inggris. Dan sya tidak menganggap Saudi itu negara Islam." (Harian Ar-Ra'yul 'Am Al-Kuwaity, edisi 11 Nopember 2001 M).

Bagaimana mungkin Arab Saudi yang jelas-jelas menampakkan syi'ar Islam, bahkan memakmurkan dua masjid suci, mengurus hajat akbar umat setiap tahun, dihukumi bukan negara Islam?

Tak heran jika kemudian Usmah bin Ladin mendukung aksi-aksi teror terhadap negara Saudi. Toh, bagi dia, Arab Saudi bukan negara Islam, jadi boleh saja menimbulkan kekacauan di negara itu. Bin Ladin berkata, "Aku memandang dengan penuh pemuliaan dan penghormatan kepada para pemuda yang mulia, yang telah menghilangkan kehinaan dari umat ini, baik mereka yang telah melakukan peledakan di kota Riyadh, atau peledakan di kota al-Khobar, ataupun peledakan-peledakan di Afrika Timur dan yang semisalnya." (Wawancara dengan Al-Jazeera, akhir 1998).

Ini pula yang terjadi pada Imam Samudra dan kawan-kawannya yang sedemikian mudahnya mengkafirkan negara Indonesia. Mudah mengkafirkan pemerintah, dan keliru menilai kafir suatu negara, melahirkan tindakan terorisme. Jika orang-orang yang mengaku memperjuangkan Islam itu berjuang dengan pemahaman yang benar, tentu hasilnya bukan kekacauan. Maka menjadi kewajiban bagi kita untuk selalu ber-Islam dengan pemahaman yang benar sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan diamalkan oleh para shahabat radhiyallahu 'anhum.

Tidak ada komentar: