Oleh :
Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad asy-Syihhi -Hafidhahullahu-
WASIAT KEEMPAT : JANGANLAH MENGAMBIL ILMU KECUALI DARI AHLUS SUNNAH
Imam Muhammad bin Sirin pernah berkata : Sesungguhnya ilmu itu adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu.
Beliau juga berkata : "Mereka (salaf/sahabat) dahulu tidak pernah bertanya tentang isnad (silsilah periwayat hadits) tetapi ketika terjadi fitnah mereka berkata : sebutkan kepada kami guru-guru kalian. Lalu dilihat, bila dia Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, tapi jika ahli bid’ah maka ditolak haditsnya".[1]
Pada saat sebagian mereka yang bertaubat tidak memperdulikan untuk mengenal pokok dan ketentuan ini, mereka menjadi santapan syubhat, dan sasaran permainan orang-orang yang mengaku-ngaku salafi dan punya ilmu, tidaklah seseorang yang mengaku dirinya memiliki ilmu dan (pura-pura) menampakkan hubungannya dengan kibarul ulama Ahlus Sunnah melainkan kamu mendapatkan para pemuda yang baru bertaubat telah duduk mengelilinginya tanpa diteliti hakikat, dan tanpa diperiksa sejarah hidupnya, ketika dia melihat pengikutnya sudah sangat banyak, dan para pendukungnya sudah sangat menyukainya mulailah dia menampakkan apa yang disembunyikannya dan yang diinginkannya, kamu melihatnya mulai menyeru kepada kepemimpinan dalam dakwah, atau kepada persatuan (antar semua golongan-pent), atau yang lainnya dari hal-hal yang menyelisihi pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pada waktu itulah mereka yang baru bertaubat mulai tampak goncang dan terpecah menjadi dua kelompok atau tiga : kelompok pendukung, kelompok oposisi, dan kelompok yang bingung, sesungguhnya hal ini terjadi karena dua hal :
Pertama :
Tidak adanya keinginan mereka (yang bertaubat) untuk menuntut ilmu yang bermanfaat terutama tentang pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena ilmu merupakan penjaga bagi pemiliknya dari ketergelinciran.
Tidakkah kamu melihat bagaimana ilmu itu bisa menjaga Abi Bakroh Radhiyallahu anhu pada waktu perang Jamal ketika mereka mengangkat Aisyah Ummul mukminin Rodhiyallahu anha maka sebuah hadits yang beliau dengar dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjaganya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda -ketika mendengar kabar matinya Kisra/raja Persi dan pengangkatan anak perempuannya (sebagai ratu-pent) - : Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita, ketika terjadi fitnah beliau ingat hadits ini maka beliau terjaga darinya, yang mana beliau berkata : Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada waktu matinya Kisra, beliau bertanya : siapa yang akan mengantinya?. Mereka menjawab : Anak perempuannya".
Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda : Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita, beliau (Abu Bakroh) berkata : Ketika Aisyah datang ke Bashroh aku ingat sabda Rasulillah Shallallahu alaihi wa sallam ini, maka Allah menjagaku dengannya. [2] .
Kedua.
Tidak merujuk kepada ahli ilmi, padahal seharusnyalah untuk bertanya kepada ahli ilmu atau kepada muridnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengenal orang yang ingin diambil darinya ilmunya tersebut. Dan ditanya : Apakah dia itu dari tholibul ilmi as-salafi atau bukan ? apakah dia itu betul-betul belajar ilmu yang benar yang layak untuk diambil ilmunya atau tidak ?
Jika jawabannya tidak, maka selesai perkara -alhamdulillah-, jika jawabannya positif maka ditimba darinya ilmu tanpa adanya fanatik tapi ditempatkan pada kedudukannya yang layak.
Ini adalah point yang sangat penting yaitu membedakan antara ahli ilmi ar-rabbani yang merupakan rujukan dalam masalah-masalah ilmiyah dan dalam masalah (nazilah) yang sedang terjadi seperti dua orang imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani [3]dan Abdul Aziz bin Abdillah Bin Baz [4] rahimahumallahu dan yang masih hidup diantara mereka dari kalangan ulama rabbani seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin [5]. Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Syaikh kami Muqbil Bin Hadi Al-Waadi’i [6] serta yang setingkat dengan mereka dari kalangan ahli ilmi dan fatwa dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah [7]. Mereka itu memiliki kedudukan masing-masing. Dan antara tholibil ilmi yang dikenal ilmu dan berpegang teguhnya dengan sunnah lewat buku-buku mereka serta pujian ahli ilmi ar-rabbani bagi mereka, mereka itu memiliki kedudukan masing-masing.
Dan yang dibawah mereka dari tholibul ilmu yang dikenal kesalafiyaannya serta kemampuannya dalam mengajar.
[Dialih bahasakan dari : al-Washayya as-Saniyyah lit-Ta`ibi as-Salafiyyah oleh Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad asy-Syihhi -Hafidhahullahu-, Alih Bahasa : Abu Abdirrahman as-Salafy, Lc, Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyah Edisi 13 Th III Shafar 1426H/April 2005M]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukaddimah shohihnya.
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari (7099), Nasai (5403) dan Tirmidzi (2365) dan ini adalah lafadz beliau.
[3]. Al-Imam Al-Allamah Al-Mujaddid Al-Muhadits Al-Faqih As-Salafy penolong sunnah dan pembasmi bid’ah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al-Albani, beliau -rahimahullah- lahir pada tahun 1334 H dan wafat pada 22 Jumadits Tsani 1420 H -pent.
[4]. Mujaddid millah Imam Ahlus Sunnah Samahatusy syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, beliau -rahimahullah- lahir pada bulan Dzulhijjah 1330 H dan wafat pada 27 Muharram 1420 H -pent.
[5] Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah al-faqih al-fadhil az-zahid al-wari Al-Allamah Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin At-Tamimi, beliau lahir pada 27 ramadhan 1347 H dan wafat pada 15 Syawwal 1421H -pent.
[6]. Beliau telah wafat, rahimahullahu
[7]. Tidak lupa juga Fadhilatusy Syaikh Al-Allamah Muhaditsul Madinah dan pengajar di masjid Nabawi Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr Hafidhahullah-pent
Tidak ada komentar:
Posting Komentar