24 Juni 2009

Wanita Menjadi Imam Shalat Jum’at

Persoalan imam wanita ini mengemuka saat seorang wanita yang bernama Aminah Wadud mengimami shalat jama’at Jum’at di sebuah gereja Anglikan the Synod House of Cathedral of St John the Define di New York.1 Peristiwa ini dipublikasikan di banyak media, dengan dibumbui komentar beberapa "intelektual" dan "kyai" dan dikesankan bahwa hal itu boleh-boleh saja dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Apakah benar demikian?



Untuk menghilangkan syubhat yang dihembuskan media dan jaringan pengusung
liberalisme dalam agama, kami merasa perlu menanggapinya, meskipun
sebenarnya membutuhkan penjelasan yang panjang, namun dalam kesempatan
ini kami hanya menyampaikannya secara ringkas.


Untuk menunjukkan dibolehkan nya imam wanita dalam shalat, para pendukungnya
tersebut mengemukakan hadits Ummu Waraqah yang diriwayatkan Abu Dawud
dalam Sunan-nya yang berbunyi:



Rasulullah mengunjunginya (Ummu Waraqah bintu Abdillah bin AI Harits)
di rumahnya dan mengangkat untuknya seorang muadzin yang beradzan
untuknya, dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah.
Abdurrahman berkata, "Saya melihat muadzinnya seorang lelaki
tua. " (HR Abu Dawud).
HREF="#foot54">2;


Menurut mereka, derajat hadits ini lebih kuat keabsahan sanadnya,
apalagi matannya. Kesan yang hendak mereka munculkan, seolah riwayat
ini merupakan hadits yang sah tanpa cacat, lalu menjadikannya sebagai
senjata menyerang ulama dan menghukumi bahwa Islam yang selama kita
warisi ini adalah Islam politik. Kemudian mereka mencoba membantah
pendapat mayoritas ulama Islam yang melarang wanita menjadi imam dalam
shalat dengan mengemukakan satu dalil yang lemah, yaitu hadits Jabir
yang berbunyi:



Janganlah sekali-kali perempuan mengimami laki-laki, Arab badui mengimami
muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama Nabi ke Madinah) dan pendosa
mengimami mukmin yang baik.


Mereka menyatakan, hadits itulah yang sering dikemukakan di banyak
tempat untuk menopang argumen yang tidak memperbolehkan perempuan
mengimami laki-laki dalam shalat.
HREF="#foot25">3


Lalu bagaimanakah sebenarnya permasalahan ini?


Hadits yang dijadikan sebagai argumen dibolehkannya wanita mengimami
laki-laki dan menyetujui serta memuji tindakan Amina Wadud di atas,
sebenarnya hadits yang masih diperselisihkan keabsahannya. Sebab,
di dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul (tidak jelas kredibilitasnya),
yaitu Abdurrahman bin Khalad, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar AI
Asqalani
HREF="#foot26">4.


Demikian juga pada riwayat yang lebih panjang dan lengkap, di dalam
sanadnya terdapat Abdurrahman ini dan neneknya Al Walid bin Abdullah
bin Jumai’ yang bernama Laila bintu Malik yang juga majhul. Sehingga
banyak juga yang mendhaifkannya, seperti Syaikh Musthafa Al Adawi
dalam Jami’ Ahkam An Nisa (1/244).


Seandainya sah, sebagaimana dinyatakan Syaikh Al Albani bahwa hadits
ini hasan lighairihi (hadits lemah yang dikuatkan oleh jalan periwayatan
lain), namun matannya tidak mendukung pembenaran wanita mengimami
shalat Jum’at di hadapan laki-laki yang banyak, sebab Rasulullah hanya
memerintahkannya mengimami shalat di rumahnya untuk keluarga dan orang
yang di rumahnya. Bisa jadi perintah itu pun khusus untuknya, sebab
tidak disyari’atkan adzan dan iqamat pada wanita selain dia. Sehingga,
bolehnya mengimami tersebut khusus bagi Ummu Waraqah, karena Rasulullah
mengkhususkan untuknya adzan dan iqamat, dan tidak untuk wanita selainnya.
HREF="#foot55">5


Jadi pernyataan mereka di atas sangat berlebihan. Itu semua tidak
lain karena hadits ini sesuai dengan hawa nafsu mereka, sehingga mereka
katakan, hadits ini lebih shahih , daripada hadits pertama tersebut
dari sisi sanad, apalagi matan. Mereka juga membuat tuduhan, bahwa
sisi lemah hadits yang menyatakan wanita tidak boleh menjadi imam
itu tidak diketahui.


Pandangan keliru para simpatisan Amina Wadud ini sangat tidak berdasar,
karena para ulama sejak dulu telah menjelaskannya, diantaranya Imam
Al Baihaqi, An Nawawi
HREF="#foot28">6dan Ibnu Hajar
HREF="#foot29">7


Oleh sebab itu, untuk mendudukkan permasalahan ini secara lebih jelas,
kami bawakan dalil-dalil wahyu dan dalil akal serta istimbat (pendalilan)
pendapat yang melarang wanita menjadi imam bagi laki-laki dalam shalat.
Diantara dalil- dalil tersebut ialah sebagai berikut:


1. Sabda Rasulullah



Barangsiapa yang mengunjungi satu kaum, maka janganlah ia mengimami
mereka shalat, dan hendaklah seorang laki-laki dari mereka yang mengimami
mereka.
HREF="#foot32">8


Dalam hadits ini Rasulullah mengkhususkan penyebutan kata "laki-laki",
dan ini menunjukkan bahwa wanita tidak punya hak dalam mengimami kaum
laki-laki



2. Sabda Rasulullah :



Hendaklah yang mengimami shalat satu kaum adalah yang paling banyak
hafalan Al Qur’annya. Jika mereka dalam hafalan sama banyaknya, maka
dahulukan orang yang paling mengetahui Sunnah Rasulullah. Jika mereka.
juga sama dalam Sunnah, maka dahulukan yang lebih dahulu berhijrah,
dan bila sama, maka dahulukan yang lebih dahulu masuk Islam. Dan janganlah
seorang laki-laki mengimami shalat seorang laki-laki lainnya di tempat
kekuasaannya?


Demikian juga dalam hadits ini, Rasulullah mengkhususkan kaum laki-laki
ketika berbicara tentang tingkatan hak menjadi imam dalam shalat,
dan sama sekali tidak memberikan bagian untuk kaum wanita mengimami
laki-laki.



3. Sabda Rasulullah



Tidaklah beruntung suatu kaum yang mengangkat pemimpinnya seorang
wanita.
HREF="#foot39">9


Bila seorang wanita diangkat menjadi imam shalat, itu sama saja menyerahkan
kepemimpinan kepadanya. Padahal, perkara shalat termasuk perkara penting
dalam agama. Sehingga Rasulullah sendiri mengambil kepemimpinan shalat.
Karena pentingnya masalah shalat ini, kemudian Rasulullah menunjuk
Abu Bakr untuk menggantikannya ketika Beliau sakit. Berdasarkan keumuman
hadits di atas, maka seorang wanita tidak boleh menjadi imam shalat
jama’ah laki-laki.



4. Sabda Rasulullah



Sebaik-baiknya barisan kaum laki- laki adalah yang terdepan dan yang
terjelek adalah yang paling akhir. Sedangkan sebaik-baiknya shaf (barisan)
wanita adalah yang paling akhir dan yang terjelek adalah yang terdepan.
HREF="#foot42">10


Hadits ini menunjukkan, dalam shalat berjama’ah, posisi wanita berada
di belakang shaf (barisan) laki-laki, sedangkan imam harus berada
di depan semua barisan. Seandainya, imam wanita bagi laki-laki itu
dibenarkan, tentu posisi imam wanita itu harus di depan barisan kaum
laki-laki. Yang seperti ini, sangat nyata menyelisihi syari’at lslam.
HREF="#foot44">11



5. Imam Al Bukhari meriwayatkan bahwa:



Dzakwan pernah mengimami Aisyah dengan membaca mushhaf


Aisyah jelas lebih utama dan lebih faqih serta lebih hafal Al Qur’an,
namun ia tetap mendahulukan Dzakwan yang membaca mushhaf ketika menjadi
imam. Tentunya hal ini menunjukkan tidak bolehnya wanita menjadi imam
kaum laki- laki dalam shalat.



6. Wanita tidak beradzan untuk laki- laki, sehingga juga tidak berhak
menjadi imam.

7. Para wanita yang dibina dan berada dalam naungan Nabi, di rumahnya
tidak pernah dinukilkan bahwa di antara mereka ada yang mengimami
laki-laki walaupun untuk para mahramnya.

8. Tugas imamah dalam shalat termasuk wewenang penting yang tidak boleh
dilalaikan, karena memiliki hubungan erat dengan keabsahan shalat
yang merupakan tanda kebaikan umat. Adapun wanita, tentu tidak bisa
memegangnya, sebab wanita itu kurang agama dan akalnya, sebagaimana
dinyatakan Rasulullah.

9. Wanita yang menjadi imam akan absen tidak shalat setiap bulannya karena
haidh atau nifas, sehingga akan menelantarkan jama’ah yang ada.

10. Kelemahan hadits Ummu Waraqah dan tidak pernah dinukil adanya seorang
wanita yang menjadi imam shalat Jum’at pada zaman itu. Ini menunjukkan,
bahwa ini merupakan perkara baru dalam agama. Rasulullah, telah mengingatkan
kita, agar berhati- hati dari perkara baru dalam agama. Karena setiap
perkara baru adalah bid’ah.


Kesimpulan


Yang dilakukan oleh Aminah Wadud, seorang wanita Amerika, yaitu mengimami
shalat di depan laki- laki tersebut, sangat nyata menyelisihi syari’at.
Upaya beberapa kalangan membangun opini bolehnya imam wanita di depan
laki-laki, kemudian mendukung dan memasyarakatkannya, merupakan upaya
menghancurkan syari’at Islam dan melemparkan panah syubhat ke tengah
kaum muslimin. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban kaum muslimin untuk
menjelaskan kepada masyarakat perihal kesesatan pendapat ini.


Demikian sedikit ulasan menanggapi sensasi imam wanita tersebut. Mudah-mudahan
membuka cakrawala berpikir kaum muslimin dan bermanfaat bagi kita
semua.


Maraji’ :


1. AI-Mughni.

2. Jami’ Ahkam Annisa.

3. Aunul Ma’bud.

4. Al Ihkaam Fima Yakhtalifu Fihi Ar Rijalu wa An Nisa-u Minal Ahkam,
karya Dr. Ahmad bin Abdullah bin MuhammadAI Umari, Penerbit Dar Ibnu
Affan, Mesir, Cairo, Cet. I, Th. 1999M/1420H.

5. Syarhul Mumti’.



Catatan Kaki



HREF="#tex2html1">1

Lihat Jawa Pos, Minggu 20 Maret 2005 M



HREF="#tex2html2">2

Lihat Sunan Abu Dawud, kitab Ash Shalat, Bab Imamat An Nisa’,
hadits no. 577 dan 578



HREF="#tex2html3">3

Lihat selengkapnya wawancara Ulil Abshar Abdalla dari Kajian Islam
Utan Kayu (KIUK) dengan KH Husein Muhammad dalam Jawa Pos, Jum’at
01 April 2005



HREF="#tex2html4">4

Seorang Ulama besar Ulama besar Madzab Syafi’iyah, pengarang kitab
Fathul Bari yang sangat tersohor, meninggal pada tahun 852 H. Lihat
Al Mughnie karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin AbdulMuhsin AT
Turki Abdullah bin Al Halwu, cetakan kedua tahun 1412 H, penerbit
Hajar,Kairo hal. 3/34. Lihat Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab 4/255.



HREF="#tex2html5">5

Lihat Al Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin
Abdul Muhsin At Turki dan Abdul Fatah Al Halwu, cetakan kedua tahun
1412, penerbit Hajar, Kairo, Mesir, hlm. 3/34.



HREF="#tex2html6">6

HR Abu Dawud, kitab Shalat, Bab Imamat Az Za’ir, no.596 dan At tirmidzi
dalam kitab Ash Shalat, Bab Ma Ja’a Fiman Zara Qauman La Yushalli
Bihim, no. 356. Hadits ini dishahihkan oleh Albani dalam shahih At
Tirmidzi.



HREF="#tex2html7">7

HR Muslim, kitab Al Masajid, Bab Man Ahaqqa Bil Imamah, 5/172 dengan
Al Minhaj, syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj.



HREF="#tex2html8">8

HR AlBukhari, kitab Al Maghazi, bab Kitab An Nabi Ila Kisra wa Qaishar,
no. 4425.



HREF="#tex2html9">9

Lihat Syarh Al Mumti’ ‘ala Zad Al Mustaqni, Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin, tahqiq Kholid bin Ali Al Musyaiqih, cetakan kedua, tahun
1416 H, Penerbit Muassasah Asaan, KSA. hlm. 4/313.



HREF="#tex2html10">10

Lihat Shahih Al Bukhari, kitab Ash Shalat, bab Imamatul ‘Abdi al Wali
Wal Maula.



HREF="#tex2html11">11

Al Mughni, hlm. 3/33


Disalin dari majalah As-Sunnah

Tidak ada komentar: