Jika seorang muslim berhadapan dengan hadits–hadits Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasalam dan ingin beribadah dengannya, maka sebelum mengamalkan hadits–hadits tersebut, dia harus memahami beberapa hal yang merupakan kaidah dalam memahami hadits itu agar pemahaman dan pengamalannya terhadap hadits benar dan terarah.
Di antara kaidah – kaidah penting yang sepantasnya dipelajari oleh seorang muslim agar pemahaman dan pengamalannya terhadap Sunnah Rasulullah benar adalah sebagai berikut :
Kaidah Pertama : Memahami Sunnah Dengan Tuntunan Alqur'an
Sunnah adalah sumber hukum kedua dalam syari’at Islam yang menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Alqur'an. Tidak ada pertentangan antara yang menafsirkan ( as-Sunnah) dengan yang ditafsirkan ( Alqur'an ). Kalau ditemukan ada yang nampak bertentangan, maka itu bisa saja terjadi karena haditsnya tidak shahih atau karena kita sendiri tidak bisa memahaminya.
Contoh yang sangat jelas bahwa as-Sunnah yang shahih tidak bertentangan dengan Alqur'an,tetapi yang bertentangan dengan Alqur'an itu adalah hadits – hadits lemah dan palsu, yaitu kisah Gharaniq (Gharaniq : tuhan – tuhan kaum musyrikin).
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasalam setelah membaca firman Allah:
أَفَرَءَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى . وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah")” ( an-Najm : 20)
ada salah satu riwayat yang menyebutkan :
تلك الغرانيق العلا و إن شفاعتهن لترتجى
“ Mereka itu adalah Gharaniq yang tinggi dan sungguh syafaatnya sangat diharapkan”
Kisah yang bathil seperti ini mustahil akan benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri yang disebutkan. Karena ayat tersebut ada yang berpendapat bahwa ia merupakan bagian dari kisah tersebut.
Apakah masuk akal, jika Imam tauhid dan pembawa bendera agama yang lurus setelah Ibrahim ‘Alaihissalam akan berkata dengan ucapan ini, yang memuji tuhan – tuhan orang musyrik?
Maka jelaslah hadits ini bathil seperti yang ditegaskan oleh Imam Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah rahimahullah, di mana beliau berkata : “ Hadits ini termasuk hadits yang dipalsukan oleh orang – orang zindiq”
Syaikh Albani rahimahullah telah mengumpulkan jalan – jalan sanad hadits ini dalam risalah belaiau : Nashbul Majaniq Linashfi Qishshatil Gharaniq
Contoh Lain Hadits :
شاوروهن و خالفوهن
“ Bermusyawarahlah dengan istri – istri kalian, tapi selisihilah pendapat mereka”
al-Hafidz as-Sakhawi rahimahullah berkata : “ Hadits ini bathil, tidak memiliki dasar”
Itu karena hadits ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu Wata'ala :
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan kkeduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” ( al-Baqarah : 233)
Ayat di atas menunjukkan disyariatkannya seorang suami untuk bermusyawarah dengan istrinya tentang masalah bayi mereka yang sedang disusukan. Suami boleh mengambil kesepakatan dengan istri untuk menyapih bayi setelah bermusyawarah.
Sedangkan hadits yang lemah tersebut menunjukkan tidak dianggapnya pendapat istri sama sekali, walaupun sudah bermusyawarah dengannya.
Jika pemahaman para ulama berbeda dalam menyimpulkan satu hadits, maka yang harus diutamakan untuk didahulukan dan dirajihkan ( dikuatkan ) adalah pendapat yang didukung oleh Alqur'an.
Kaidah Kedua : Mengumpulkan Hadits – Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan Pada Satu Tempat
Yahya ibn Ma’in rahimahullah berkata :
“Kalau kita menulis hadits dari tigapuluh jalan (sanad), niscaya kita tidak akan bisa memahaminya”.
Imam Ahmad rahimahullah berkata :
” Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan – jalannya, engkau tidak akan faham, karena hadits itu satu dengan yang lain saling menafsirkan”.
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan benar, mengumpulkan hadits – hadits shahih yang satu tema dan pembahasan. Supaya hadits yang mutasyabih (samar) dijelaskan dan dikembalikan kepada hadits yang muhkam (jelas), yang mutlaq ( mutlak ) dibawa kepada yang muqayyad ( tertentu ) dan yang ‘Aam (umum ) dibawa kepada yang Khas (khusus).
Dengan cara itu, akan jelas maksud dari hadits tersebut. Dan tidak boleh mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lain.
Jika jalan – jalan hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada satu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadits tersebut yang bisa mengeluarkan seseorang dari jalan yang benar. Padahal orang tersebut berdalil dengan hadits yang shahih, akan tetapi karena dia tidak mengumpulkan yang semisal dengan hadits itu pada satu bab, menyebabkan dia tidak sempurna dalam memahami hadits.
Contoh :
Hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu ketika beliau melihat alat pertanian, beliau berkata :” Aku telah mendengar Nabi Muhammad Sallallahu 'alahi wasallam bersabda :”
لا يدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذل
“Tidaklah alat ini masuk ke rumah suatu kaum kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan” ( HR. Bukhari )
Zhahir ( lahiriyah ) hadits ini menjelaskan bencinya Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasalam terhadap pertanian. Padahal kalau seseorang mengumpulkan hadits – hadits yang lain tentang pertanian, dia akan mendapatkan bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasalam justru menganjurkan untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, seperti sabda beliau :
ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة
“ Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu tanaman itu dimakan oleh burung atau manusia atau juga binatang ternak, kecuali yang demikian itu sebagai shadaqoh darinya” ( HR. Bukhari )
Dan sabda beliau juga :
“ Jika hari Kiamat datang dan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya” ( HR. Ahmad )
Bagaimanakah cara ulama menyatukan antara hadits – hadits ini?
Termasuk dari pemahaman Imam Bukhari rahimahullah yang kuat, bahwa beliau memberikan judul untuk hadits yang melarang tentang bertani dengan perkataan beliau :
“Bab : Hal – hal yang Diperingatkan Dari Akibat – akibat Jelek Karena Sibuk Dengan Alat Pertanian atau Melampaui Batas dari Yang Diperintahkan”
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
” Imam Bukhari telah memberikan isyarat dengan judul hadits tersebut cara menyatukan antara hadits Abu Umamah dan hadits sebelumnya tentang keutamaan bertani dan bercocok tani. Itu disatukan ( dijama’) dengan satu dari dua cara, yaitu dengan membawa apa yang bermakna celaan kepada akibat buruk dari pertanian, atau dibawa kepada pemahaman jika bertani tidak melalaikannya tapi berlebih – lebihan.
Di antara yang mendukung pendapat bahwa yang dimaksud dari larangan bertani adalah bila bertani membuat lalai dari kewajiban – kewajiban seperti jihad di jalan Allah, adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اَلْبَقَرِ, وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ, وَتَرَكْتُمْ اَلْجِهَادَ, سَلَّطَ اَللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“ Apabila kalian jual – beli dengan cara ‘innah ( seperti riba), dilalaikan oleh hewan ternak, dan disibukkan dengan bertani, lalu kalian tinggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakkan kehinaan kepada kalian. Dia tidak akan mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Syaikh Albani)
Kaidah Ketiga : Menjamak dan Mentarjih di Antara Hadits – Hadits yang Bertentangan
Menjamak artinya menyatukan hadits – hadits yang tampak bertentangan dan menyesuaikannya, sedangkan Tarjih artinya menguatkan salah satu hadits dari hadits – hadits yang lain yang bertentangan.
Pada dasarnya, nash – nash di antara Alqur'an dan as-Sunnah yang shahih tidak ada pertentangan.
Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an-Nisa : 82)
Kalaupun terjadi suatu pertentangan, maka itu semata anggapan kita saja dan bukan hakikati dari nash – nash tersebut. Inilah keyakinan seorang mukmin pada hadits – hadits yang otentik ( shahih atau hasan )
Di antara contoh hadits – hadits yang tampaknya bertentangan adalah hadits – hadits yang melarang untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara itu ada hadits – hadits lain yang membolehkan menghadap kiblat.
Cara menjamak yang yang dipakai para ulama untuk menyatukan hadits – hadits yang tampak bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits – hadits larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits – hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya ( seperti melakukannya di WC)
Kitab yang paling bermanfaat dan bagus untuk rujukan adalah Muykilul Atsar karya at-Thahawi dan Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits Karya Ibnu Qutaibah rahimahumallah .
Kaidah Keempat : Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Hadits Nasikh adalah hadits yang menghapus kandungan hadits yang lain, sedangkan Mansukh adalah hadits yang dihapus kandungannya.
Naskh ( penghapusan hukum) dalam hadits memang terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau hadits itu mansukh berarti dia telah terjatuh kedalam yang tidak diperintahkan untuk mengamalkannya, karena kita tidak diperintahkan untuk mengamalkan hadits yang mansukh. Dan Naskh adalah satu penyebab dilarangnya beramal dengan satu hadits yang telah dimansukh.
Seseorang tidak boleh tergesa – gesa dalam masalah ini, dan mengatakan hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil – dalil dan tanda – tanda yang menunjukkan adanya naskh.
Kitab yang bisa membantu untuk mengetahui hadits – hadits yang mansukh adalah : Ittihaf Dzawiir Rusukh, oleh al-Ju’buri dan an-Nasikh wal Mansukh oleh Ibn al-Jauzi rahimahumallah.
Kaidah Kelima : Mengetahui Asbabul Wurud Hadits
Asbabul wurud hadits adalah sebab – sebab datangnya dan terjadinya suatu hadits. Mengetahui Asbabul wurud hadits sangat membantu dalam memahami maksud Rasulullah dalam suatu hadits.
Termasuk cara yang baik dalam memahami Sunnah Nabawiyah adalah meneliti sebab – sebab tertentu datangnya hadits itu, atau hadits itu punya alasan tertentu yang tersurat pada teks hadits atau tersirat dari makna hadits tersebut. Atau juga yang difahami dari kondisi ketika hadits itu diucapkan oleh Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam.
Adalah suatu keharusan untuk memahami hadits dengan benar mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Rasulullah. Hadits itu datang sebagai penjelas bagi kejadian – kejadian tersebut dan sebagai terapi bagi situasi dan kondisi dari kejadian waktu itu. Sehingga kita bisa memahami dengan jelas, benar dan cermat maksud dari hadits tersebut.
Itu agar kita tidak salah memahami hadits dengan perkiraan dangkal kita atau hanya karena mengikuti dzahirnya ( lahiriyahnya ) teks hadits.
Contoh :
أنتم أعلم بأمور دنياكم
“ Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” ( HR. Muslim )
Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari dari hukum – hukum syariat yang berkaiatan dengan masalah ekonomi, hukum perdata, politik dan yang semisalnya dengan alasan ( sebagaimana anggapan mereka yang salah ), bahwa itu adalah urusan duniawi, kami lebih mengetahui tentang urusan dunia dan Rasulullah telah menyerahkannya kepada kami.
Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak. Dalam nash – nash Alqur'an dan as-Sunnah terdapat hal – hal yang mengatur urusan muamalah seperti jual – beli, serikat dagang, gadai, sewa – menyewa, hutang – piutang dan sebagainya.
Bahkan ayat terpanjang dalam Alqur'an turun membahas tentang aturan penulisan hutang – piutang.
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya .. ( al-Baqarah : 282 )
Maka hadits :“ Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” ditafsirkan oleh sebab terjadinya hadits tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah. Lalu para Shahabat menjalankan saran Rasulullah tersebut dengan taat, tapi kemudian mereka gagal melakukan penyerbukan dan berakibat buruk pada buah. Kemudian Rasulullah bersabda dengan hadits tersebut.
Contoh lain hadits:
من سن في الإسلام سنة حسنة
“ Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam…” (HR. Muslim )
Sebagian orang memahami hadits ini dengan salah. Lalu mereka membuat amalan - amalan bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Mereka beranggapan bahwa mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan itu dan mengklaim bahwa ini adalah sunnah hasanah ( sunah yang baik ) yang masuk dalam makna kandungan hadits tadi.
Akan tetapi kalau kita merujuk kepada sebab terjadinya hadits ini, kita dapatkan sebabnya adalah bahwa suatu hari, Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam memerintahkan para Shahabat beliau untuk bersedekah. Lalu datang seorang pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya. Lalu dia letakkan di tengah masjid dan kemudian orang – orang ikut berinfaq, sampai muka Rasulullah berseri – seri karena senang, seakan – akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas. Lalu beliaupun mengucapkan hadits tersebut.
Maka mengartikan hadits tersebut dengan perbuatan bid’ah jelas bukan yang dimaksud hadits. Kita jelaskan seperti ini dengan yakin dan tanpa ragu. Bahkan itu suatu kesesatan yang nyata. Sebab ada dan terjadinya hadits yang disebutkan tadi adalah bukti terkuat tentang salah dan bathilnya pengambilan dalil seperti itu.
Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi rahimahullah punya kitab “al-Bayan wat Ta’riif Fi Asbaab Wuruudil Hadits as-Syariif dicetak dalam tiga jilid. Kitab ini termasuk yang paling lengkap dalam pembahasan ini.
Kaidah Keenam : Mengetahui Gharibul Hadits
Gharibul hadits artinya kata – kata yang asing yang sulit dipahami yang terdapat dalam suatu hadits.
Rasulullah adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan Dhadh.Beliau berbicara dengan para Shahabat dengan bahasa arab yang jelas dan lumrah. Karena para Shahabat adalah orang arab asli yang tidak pernah dipengaruhi orang ‘Ajam ( non arab ), maka mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami kata - kata yang mereka biasa bicarakan.
Akan tetapi dengan berlalunya waktu dan saling berbaurnya manusia,’Ajam dengan Arab, maka bahasa yang dipakai orang arab menjadi lemah, bercampur dengan bahasa ‘Ajam dan semakin jauh dari bahasa arab yang fasih.
Oleh karena itu banyak orang menemukan kesulitan dalam memahami hadits – hadits Nabi karena tidak mengetahui arti kata – kata dalam hadits – hadits tersebut.
Oleh karena sebab inilah para Ulama manyusun karangan tentang Gharibul hadits, Mereka susun kitab untuk menerangkan kata – kata yang sulit difahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya.
Jika seorang ahli ilmu, penuntut ilmu syar’i atau seorang muslim secara umum ingin memahami hadits, maka hendaklah ia merujuk kepada kitab – kitab gharibul hadits. Kitab – kitab yang terpenting adalah :
- Gharibul Hadits oleh al-Harawi
- Gharibul Hadits oleh Abu Ishaq al-Harbi
- Gharib as- Shohihain oleh al-Humaidi
- An-Nihayah Fi Gharibil Hadits oleh Ibnul Atsir rahimahumullah jamii’an
Kaidah Ketujuh : Memahami Sunnah Seperti Yang Difahami Shahabat Rasulullah
Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang dengan Sunnah seperti para Salafus Shaleh agar selamat dari penambahan dan pengurangan.
Yang paling utama dalam menafsirkan Sunnah adalah hadits – hadits itu sendiri, kemudian setelah itu atsar dari para Shahabat, karena Shahabat menyaksikan turunnya Alqur'an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka kalau terjadi pemahaman yang salah dari salah satu dari mereka terhadap Sunnah Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah untuk meluruskan dan mengoreksi kesalahan itu.
Contoh :
Hadits menghadap Qiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil.
Sebelumnya saya telah menjelaskan satu pendapat cara menjamak ( menyatukan ) antara hadits yang tampak bertentangan tersebut. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah atsar dari Ibnu Umar radiyallahu 'anhu, dimana beliau berkata : “Sesungguhnya yang demikian itu ( yaitu buang air menghadap atau membelakangi qiblat ) terlarang jika di tempat yang terbuka. Jika antara kamu dan qiblat ada penghalang, maka tidak mengapa”.
Hendaklah anda merujuk kitab – kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar – atsar para salaf dari para Shahabat dan Tabi’in ketika meriwayatkan hadits, seperti kitab – kitab berikut :
- Mushannaf Abdirrozzaq
- Mushannaf Ibni Abi Syaibah
- Sunan Sa’id ibn Manshur
- Sunan ad-Darimi
- As-Sunan al-Kubra dan as-Shugra oleh Imam Baihaqi rahimahumullah
Kaidah Kedelapan : Merujuk Kitab – Kitab Syarah Hadits
Termasuk hal yang penting dalam memahami hadits – hadits Nabi adalah merujuk kitab – kitab syarah ( penjelas ). Karena di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib hadits, nasikh – mansukh, fiqih hadits dan riwayat – riwayat yang tampaknya bertentangan. Sehingga tidak mungkin seseorang untuk tidak merujuk kepada kitab – kitab ini.
Para ulama hadits telah meninggalkan kekayaan ilmu untuk kita berupa kitab – kitab syarah yang menjelaskan hadits – hadits Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam, sedangkan para ulama itu adalah para penerjemah hadits – hadits Nabi untuk seluruh umat. Dan secara umum, ulama yang lebih dahulu dan lebih dekat kepada masa Rasulullah , maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima.
Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penulisnya adalah kitab yang penulisnya memiliki perhatian terhadap dalil – dalil dengan menerangkan jalan periwayatan hadits yang bermacam – macam, dan menerangkan shahih dan dhaifnya dalil tersebut.
Juga harus didahulukan kitab yang penulisnya paling jauh dari fanatisme madzhab, karena bisa saja makna yang benar dari satu hadits dipalingkan kepada makna yang lain tanpa alasan yang benar.
Di antara contoh kitab – kitab syarah hadits terdahulu dan menjadi pijakan, yaitu :
- Syarhus Sunnah oleh Imam al-Baghawi
- Fathul Baari oleh Ibnu Rajab al-Hanbali
- Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari oleh Ibnu Hajar al-Asqolani, dan lain – lain.
Wallahu A’lam.
(Ditulis oleh Abu Maryam, diambil dari kitab Dhawabit Muhimmah Lihusni Fahmis Sunnah oleh Dr. Anis ibn Ahmad ibn Thahir (terj))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar