Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Imam Abu Hanifah Rahimahullah berkata: “Aku telah menjumpai para ahli Ilmu Kalam/Ilmu Filsafat. Hati mereka keras, jiwanya kasar, tidak peduli jika mereka bertentangan dengan al-Qur-an dan as-Sunnah. Mereka tidak memiliki sifat wara’ dan tidak juga takwa.” [1]
Imam Abu Hanifah Rahimahullah juga berkata saat ditanya tentang pembahasan dalam ilmu kalam dari sosok dan bentuk, ia berkata: “Hendaklah engkau berpegang kepada as-Sunnah dan jalan yang telah ditempuh oleh Salafush Shalih. Jauhi olehmu setiap hal baru, karena ia adalah bid’ah.” [2]
Al-Qadhi Abu Yusuf (wafat th. 182 H) Rahimahullah [3], murid dari Abu Hanifah Rahimahullah, berkata kepada Bisyr bin Ghiyaats al-Marisii: [4] “Ilmu tentang kalam adalah suatu kebodohan dan bodoh tentang Ilmu Kalam adalah suatu ilmu. Seseorang, manakala menjadi pemuka agama atau tokoh ilmu kalam, maka ia adalah zindiq atau dicurigai sebagai zindiq (kafir).” Dan beliau berkata pula: “Barangsiapa yang belajar ilmu kalam, ia akan menjadi zindiq...” [5]
Imam Ahmad Rahimahullahberkata: “Pemilik ilmu kalam/Ilmu Filsafat tidak akan beruntung selamanya. Para ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq (kafir).” [6]
Imam Ibnul Jauzy Rahimahullah(wafat th. 597 H) berkata: “Para ulama dan fuqaha (ahli fuqaha) umat ini dahulu mendiamkan (mengabaikan) ilmu kalam bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka menganggap ilmu kalam itu tidak mampu menyembuhkan seorang yang haus, bahkan dapat menjadikan seorang yang sehat menjadi sakit. Oleh karena itu, mereka tidak memberi perhatian kepadanya dan melarang untuk terlibat di dalamnya.” [7]
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memiliki ilmu kalam, ia tidak akan beruntung.” Beliau juga mengucapkan: “Hukum untuk Ahli Kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sandal atau sepatu dan dinaikkan ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan: ‘Inilah balasan orang yang meninggalkan al-Kitab dan as-Sunnah dan mengambil ilmu Kalam.’” [8]
Beliau Rahimahullah juga menyatakan [9]
Segala ilmu selain al-Qur-an hanyalah menyibukkan.
terkecuali ilmu hadits dan fiqh untuk mendalami agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: “Qoola Hadatsana (Telah menyampaikan hadits kepada kami).”
selainnya itu adalah ‘gangguan syaitan’ belaka.
_________
Foote Note
[1]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/74) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[2]. Ibid, I/75.
[3]. Beliau adalah murid Abu Hanifah yang paling pintar, seorang ahli hadits dan termasuk Qadhi yang masyhur. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (VIII/535-539).
[4]. Ia adalah seorang tokoh Ahlul Bid’ah yang sesat, ayahnya seorang Yahudi. Ia mengambil pendapat-pendapat Jahm bin Shafwan dan berhujjah dengannya. Ia termasuk orang yang menguasai ilmu Kalam.
Qutaibah bin Sa’id berkata: “Bisyr al-Mariisi adalah kafir.” Dan Abu Zur’ah ar-Raaziy berkata: “Bisyr al-Mariisi adalah zindiq.” Bisyr mati pada tahun 218 H. Lihat Miizanul I’tidal karya Imam adz-Dzahabi (I/322-323 no. 1214).
[5]. Syarah ‘Aqiidah ath-Thahawiyah, tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 17).
[6]. Lihat kitab Talbis Iblis (hal. 112).
[7]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[8] Lihat Ahaadits fii Dzammil Kalam wa Ahlihi (hal. 99) karya Imam Abul Fadhl al-Maqri’ (wafat th. 454 H), tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda‘I; Jaami’ul Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi karya Ibnu ‘Abdil Barr (II/941), dan Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki, hal. 17-18.
[9]. Lihat Diwan Imam Syafi’i hal 388 no. 206, tartib dan syarah Muhammad ‘Abdur-rahim, cet. Daarul Fikri 1415 H
___________
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
______________________
LARANGAN IMAM MALIK TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM AGAMA
Oleh :Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais
[1]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush'ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata: "Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja. karena hal-hal di atas [1]
[2]. Imam Abu Nu'aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata: "Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari bid'ah-bid'ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga." [2]
[3]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata, "Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan bohong."[3]
[4]. Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya mende-ngar Imam Malik berkata: "Berdebat dalam agama itu aib (cacat)." Beliau juga berkata: "Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" [4]
[5]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Mahdi, katanya, saya masuk ke rumah Imam Malik, dan di situ ada seorang yang sedang ditanya oleh Imam Malik: "Barangkali kamu murid dari 'Amir bin 'Ubaid. Mudah-mudahan Allah melaknat ‘Amr bin ‘Ubaid karena dialah yang membuat bid’ah Ilmu Kalam. Seandainya kalam itu merupakan Ilmu, tentulah para Sahabat dan Tabi’in sudah membicarakannya, sebagaimana mereka juga berbicara masalah hukum (fiqih) dan syari’ah.”[5]
[6]. Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya mendengar Imam Malaik berkata: “Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”. Imam Malik menjawab: “Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.” [6]
[7]. Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Syafi’i, katanya, Imam Malik bin Anas, apabila kedatangan orang yang dalam agama mengikuti seleranya saja, beliau berkata: “Tentang diri saya sendiri, saya sudah mendapatkan kejelasan tentang agama dari Tuhanku. Sementara anda memilih ragu-ragu. Pergilah saja kepada orang-orang yang masih ragu-ragu, dan debatlah dia.”[7]
[8]. Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad al-Mishri al-Maliki, di mana ia berkata dalam bab al-Ijarat dalam kitab al-Khilaf, Imam Malik berkata: “Tidak boleh menyebarkan kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang dalam beragama hanya mengikuti selera, bid’ah dan klenik; dan kitab-kitab itu adalah kitab-kitab penganut kalam, seperti kelompok Mu’tazilah dan sebagainya.”[8]
Dan Itulah sekilas tentang sikap Imam Malik bin Anas dan pendapat-pendapat beliau tentang masalah Tauhid, Sahabat, Imam, Ilmu Kalam dan Lain-lain
_________
Foote Note
[1].Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415
[2]. Al-Hilyah, VI/325
[3]. Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B
[4]. Syaraf ASh-hab Al-Hadits, hal. 5
[5]. Dzan Al-Kalam, lembar 173-B
[6]. Ibid, lembar 173
[7]. Al-Hilyah, VI/324
[8]. Jami' Bayan al-'Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 416-417
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Malik bin Anas Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1885/slash/0
____________________________
LARANGAN ABU HANIFAH TERHADAP ILMU KALAM DAN BERDEBAT DALAM MASALAH AGAMA
Oleh : Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais
[1]. Imam Abu Hanifah berkata: "Di kota Bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya dating di Bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di Bashrah lebih dari satu tahun, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia". [1]
[2]. Beliau menuturkan: "Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia berkata: Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?"
Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya menyarankan agar dia datang ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: "Lelaki itu dapat menalaknya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima', dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi.
Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammad tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, "saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad".[2]
[3]. Beliau berkata lagi: "Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalanuntuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka".[3]
Beliau juga pernah ditanya seseorang, "Apakah pendapat anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?. Beliau menjawab, 'itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah bid'ah". [4]
[4]. Putra Imam Abu Hanifah, yang namanya Hammad, menuturkan, "Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, 'Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?', Tanya beliau. Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. 'Apa yang sedang kalian bicarakan?', Tanya beliau lagi. Saya menjawab, 'Ada suatu masalah ini dan itu'. Kemudian beliau berkata: "Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam".
Kata Hammad selanjutnya: "Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya. 'Hammad kemudian berkata kepada beliau., 'wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam?' "Ya, memang pernah". Jawab beliau, "Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam", tambah beliau
"Kenapa, wahai ayahanda?", Tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, "Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Nemun syetan mengganggu mereka sehinggamereka bermusuhan dan berbeda pendapat".[5]
[5]. Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: "Jangan sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalammasalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu".[6]
Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah, tentang aqidah beliau dalam masalah ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam
_________
Foote Note
[1]. Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137
[2]. Tarikh Baghdad XIII/333
[3]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, hal. 28-31
[4]. Al-Harawi, Dzamm 'Ilm Al-Kalam, lembar 194-B
[5]. Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184
[6]. Ibid, hal.37
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
http://www.almanhaj.or.id/content/1191/slash/0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar