Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar
RUKUN-RUKUN PUASA
Rukun puasa itu ada empat, yaitu:
1. Niat
2. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
3. Waktu dan
4. Orang yang berpuasa.
Berikut ini penjelasan secara rinci mengenai masing-masing rukun.
Rukun Pertama: Niat
Niat ini sudah harus ada pada malam sebelum berpuasa. Niat ini merupakan suatu keharusan dalam berpuasa. Juga wajib ditetapkan pada setiap ibadah dan amalan. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah Ta'ala:
"Padahal mereka tidak diperintah melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat." [Al-Bayyinah: 5]
Juga didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini:
"Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya (balasan) bagi setiap amal (sesuai dengan) apa yang ia niatkan."[1]
Rukun Kedua: Menahan Diri dari Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Orang yang berpuasa harus menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasanya, baik itu berupa makan, minum, hubungan badan, dan hal-hal lainnya yang dapat membatalkan puasa. [2]
Rukun Ketiga: Waktu
Orang yang berpuasa harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa itu semenjak terbit fajar shadiq (Shubuh) sampai matahari tenggelam. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta'ala:
"Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam." [Al-Baqarah: 187]
Rukun Keempat: Orang yang Berpuasa
Yaitu orang Muslim yang sudah baligh, berakal, mampu untuk mengerjakan puasa dan terlepas dari halangan puasa. [3]
DASAR POKOK DISYARI'ATKANNYA PUASA
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam sekaligus sebagai salah satu kewajiban dari Allah Ta'ala (bagi hamba-Nya yang beriman). Puasa merupakan ibadah yang sudah populer diajarkan oleh agama dan telah menjadi kesepakatan di kalangan kaum muslimin, yang diwarisi oleh umat ini dari para pendahulunya. Puasa ini telah ditunjukkan oleh al-Kitab, as-Sunnah, ijma' dan akal.
Dalil dari al-Qur-an adalah firman Allah Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kamu sekalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu sekalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya. Dan hendaklah kamu sekalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kelian agar kalian bersyukur". [Al-Baqarah: 183-185]
Perintah di dalam firman-Nya:
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu sekalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa..."
Adalah untuk pengertian wajib, karena di dalamnya mengandung pensucian, pembersihan, dan penjernihan jiwa dari berbagai kotoran yang hina dan akhlak yang tercela.
Adapun dalil dari as-Sunnah adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Islam itu dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah yang suci bagi orang yang mampu melakukan hal tersebut." [4]
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah bahwasanya ada seorang Arab Badui datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan rambut yang acak-acakan, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang shalat yang diwajibkan oleh Allah kepadaku."
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau hendak mengerjakan suatu shalat tathawwu' (sunnat)."
Lalu ia bertanya, "Beritahukan kepadaku puasa apa yang diwajibkan kepadaku." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
"Puasa Ramadhan."
Ia kembali bertanya, "Apakah aku masih memiliki kewajiban puasa lainnya?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
"Tidak, kecuali jika engkau hendak mengerjakan puasa tathawwu' (sunnat)."
Selanjutnya, ia berkata, "Beritahukan kepadaku apa yang diwajibkan Allah kepadaku dari zakat?"
Lantas, ia (Thalhah) berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun memberitahukan syari'at-syari'at Islam." Maka, orang itu berkata, "Demi Rabb yang telah memuliakanmu, aku tidak akan menambah amalan apapun dan tidak juga mengurangi sedikit pun apa yang telah diwajibkan Allah kepadaku."
Kemudian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dia beruntung, jika dia benar."
Atau,
"Dia akan masuk Surga jika dia benar."[5]
3. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
'Berpuasalah karena telah melihatnya (hilal, dalam menentukan tanggal 1 Ramadhan-ed.) dan berbukalah karena telah melihatnya pula (dalam menentukan 1 Syawwal-ed.)..'"[6]
4. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari hadits Jibril yang panjang ketika dia (Jibril) datang untuk mengajari manusia mengenai ajaran agama mereka...Dia berkata, "Wahai Rasulullah, apa itu Islam?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat wajib, menunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan..." [7]
Adapun dalil dari ijma' (kesepakatan ulama) bahwa puasa itu merupakan salah satu dari rukun-rukun Islam dan ia sudah diketahui secara umum sebagai ajaran agama. Bahkan, mereka sepakat bahwa orang yang mengingkari hukum wajibnya puasa maka dia telah kafir. [8]
Sedangkan dalil secara logika dapat dikatakan:
Pertama, bahwa puasa sebagai sebuah sarana untuk mensyukuri nikmat, karena puasa merupakan bentuk penahanan diri dari makan, minum, dan jima' (hubungan badan). Puasa bulan Ramadhan mendatangkan nikmat paling besar yang dia dapat dengan menahan diri dari semua itu untuk batas waktu tertentu yang sudah diketahui batasannya. Ada beberapa jenis nikmat yang tidak diketahui dan hanya dapat diketahui apabila nikmat tersebut telah hilang. Lalu, agar nikmat tersebut tidak hilang, maka hak dari nikmat itu harus dipenuhi, yaitu melalui rasa syukur. Mensyukuri nikmat, berdasarkan logika dan syari'at merupakan suatu hal yang wajib. Dan hal tersebut telah diisyaratkan oleh Allah Tabaraka wa Ta'ala melalui firman-Nya di dalam ayat puasa, "Agar kalian bersyukur." [9]
Kedua, puasa merupakan sarana menuju takwa. Sebab, jika jiwanya telah tunduk untuk menahan diri dari hal-hal yang halal karena sangat menginginkan untuk mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta takut kepada adzab-Nya yang sangat pedih, maka akan lebih tepat lagi jika dia dapat menahan diri dari hal-hal yang haram. Puasa merupakan sarana untuk takut kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan puasa merupakan hal yang wajib. Berdasarkan hal tersebut, telah ada isyarat yang terkandung di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di akhir ayat tentang puasa: "Agar kalian bertakwa."[10]
Ketiga, di dalam puasa itu terkandung kekuatan untuk mengalahkan tabi'at dan mematahkan nafsu syahwat. Jika jiwa itu kenyang, maka ia akan berangan-angan, dan jika lapar maka dia akan menolak dari apa yang dia inginkan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa di antara kalian yang takut tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu akan menjadi tameng baginya." [11]
Oleh karena itu, puasa itu seakan-akan sebagai satu-satunya cara untuk menahan diri dari kemaksiatan. Dan sesungguhnya puasa itu wajib. [12]
KEPADA SIAPA PUASA ITU DIWAJIBKAN?
Puasa Ramadhan itu diwajibkan atas setiap muslim yang berakal, mukim (tidak dalam keadaan safar), mampu, dan terlepas dari segala macam halangan.
Sedangkan bagi orang kafir, tidak wajib baginya mengerjakan puasa dan tidak juga sah untuk dikerjakan. Sebab, dia bukan orang yang berhak untuk ibadah ini, dan jika suatu saat dia memeluk Islam, maka dia pun wajib mengerjakannya, yaitu semenjak dirinya masuk agama Islam dan tidak perlu baginya mengqadha' puasa-puasa yang telah ditinggalkannya. Yang demikian itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, 'Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu...'" [Al-Anfaal: 38]
Bagi anak kecil, tidak wajib baginya untuk mengerjakan puasa, karena telah dibebaskan hukum itu darinya sehingga dia mencapai usia baligh. Usia balighnya itu bisa diketahui melalui salah satu dari tiga cara berikut:
1. Keluar mani melalui mimpi atau yang lainnya.
2. Tumbuhnya bulu kemaluan.
3. Masuk usia lima belas tahun.
Sedangkan pada wanita, ditambah lagi dengan haidh. Jika salah satu dari hal-hal tersebut di atas telah terpenuhi, maka anak itu sudah dapat dikategorikan baligh.
Dan bagi orang yang akalnya tidak sehat (hilang ingatan/gila), tidak wajib baginya menunaikan puasa, karena telah dibebaskan hukum wajib itu darinya. Jika ada seseorang yang terkadang ingatannya hilang dan terkadang kembali lagi, maka dia masih tetap berkewajiban melaksanakan puasa pada saat dia tersadar dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadha’ puasa yang dia tinggalkan selama dia mengalami hilang ingatan.
Bagi musafir, puasa itu tidak wajib, tetapi dia diberikan pilihan, boleh tidak berpuasa dan boleh juga tetap berpuasa, tetapi yang lebih baik baginya adalah mengerjakan yang paling mudah.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..." [Al-Baqarah: 185]
Sedangkan bagi orang yang tidak mampu, yakni tidak mampu mengerjakan puasa, baik karena sakit atau karena sudah terlalu tua, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadha'nya setelah bulan Ramadhan. Orang yang sudah tua hendaklah memberi makan satu orang miskin setiap harinya.
"....Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika ia tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin..." [Al-Baqarah: 184]
Dan bagi orang yang mengerjakan puasa tetapi terhalang oleh suatu halangan puasa, maka tidak wajib baginya berpuasa, tetapi dia harus berbuka, sebagaimana wanita yang haidh dan nifas. [13]
Ibnu Rusyd mengatakan, "...Adapun bagi orang yang mendapat ketetapan wajib mutlak, maka dia adalah orang yang sudah baligh, berakal, tidak sedang dalam perjalanan, dan sehat, selama tidak ada halangan yang menghalangi puasa, yaitu haidh bagi kaum perempuan. Ini merupakan suatu hal yang tidak diperdebatkan lagi.
Hal tersebut didasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini:
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia ber-puasa..." [14]
[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (I/22) dan Shahiih Muslim (VI/48))
[2]. Penjelasan rinci mengenai hal ini akan diberikan lebih lanjut dalam pembahasan tentang hal-hal yang membatalkan puasa.
[3]. Penjelasan rinci mengenai masalah ini akan diberikan pada pembahasan tentang kepada siapa puasa itu diwajibkan.
[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (I/8) dan Shahiih Muslim (I/34))
(Sedangkan pada lafazh Muslim adalah:
"Islam itu dibangun atas lima perkara; bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, pergi haji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadhan.")-red.
[5]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/31) dari jilid I, dan Shahiih Muslim (I/31))
[6]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
[7]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (I/20) dan Shahiih Muslim (I/30))
[8]. Lihat kitab Badaa-i'ush Shanaa-i (II/75), al-Majmuu (VI/248), Mughni al-Muhtaaj (I/420), al-Mughni (IV/324), serta Haasyiyatur Raudh al-Murabbi (III/344).
[9]. QS. Al-Baqarah: 185.
[10]. QS. Al-Baqarah: 183.
[11]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (IV/128))
[12]. Lihat Badaa-i'ush Shanaa-i' (II/76).
[13]. Keterangan rinci mengenai hal ini akan diberikan pada pembahasan tentang orang yang boleh tidak berpuasa karena alasan-alasan yang dibenarkan untuk tidak berpuasa.
[14]. Lihat Bidaayatul Mujtahid (I/274), Badaa-i'ush Shanaa-i' (II/77 dan III/176), Kasyful Qinaa' (II/308) dan as-Sailul Jaraar oleh Imam asy-Syaukani (II/111).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar