Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,
“Betapa indahnya perkataan penyair, ilmu adalah firman Allah dan sabda rasul-Nya. Demikian pula perkataan shahabat. Ini adalah suatu hal yang jelas. Bukanlah ilmu sikapmu yang dengan kebodohan mempertentangkan hadits Nabi dengan pendapat ulama. Sekali-kali tidak, bukanlah termasuk ilmu menolak dan mengingkari sifat Allah karena khawatir menyamakan dan menyerupakan Allah dengan makhluk”
(Fawaid hal 105).
Ada tiga poin penting yang terkandung dalam bait-bait syair yang dipuji oleh Ibnul Qoyyim di atas.
[Pertama] Pengertian Ilmu Agama
Yang disebut Islam adalah ajaran Allah dan rasul-Nya yang difahami dan dipraktekkan secara benar sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan rasulNya. Pemahaman dan praktek yang benar tersebut telah ada pada para shahabat Nabi. Jika demikian maka ilmu agama yang benar adalah ilmu tentang firman Allah, sabda rasulullah dan penjelasan para shahabat tentang maksud ayat al Qur’an dan hadits nabi. Sehingga mempelajari pendapat orang yang semata-mata pendapat karena tidak berdalil bukanlah mempelajari Islam dan orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pendapat tadi bukanlah orang yang mengerti mengenai Islam. Oleh karena itu suatu pengajian dan majelis taklim adalah pengajian dan kajian Islam jika yang dipelajari adalah ayat-ayat al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang shahih beserta riwayat dari para shahabat yang menjelaskan ayat dan hadits tersebut.
Demikian pula, bukanlah termasuk mempelajari Islam orang yang sibuk menekuni ilmu yang disebut filsafat Islam karena pada hakekatnya yang disebut filsafat islam adalah menekuni dengan seksama perkataan Plato, Aristoteles dan orang-orang kafir yang lain. Sedangkan ilmu dalam islam adalah mengkaji kandungan Al Qur’an dan hadits Nabi. Tak kalah aneh lagi adalah anggapan bahwa orang yang menekuni ilmu yang dilarang oleh Islam adalah orang yang faham tentang Islam. Tidak sedikit orang yang menekuni ilmu sihir dan perdukunan yang dilarang oleh Islam dengan kedok memburu hantu, pengobatan alternatif atau yang lainnya diyakini dan dipercaya sebagai seorang ustadz yang notabene seharusnya mengerti Islam dengan baik
[Kedua] Bukanlah sikap orang yang berilmu mempertentangkan hadits nabi dengan perkataan ulama karena perkataan siapapun harus ditolak dan dibuang jauh-jauh jika tidak selaras dengan sabda Nabi.
Satu-satunya manusia yang wajib ditaati secara mutlak tanpa terkecuali adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan manusia yang lain setinggi apapun ilmunya dan sesholih apapun orangnya hanya boleh ditaati dengan bersyarat yaitu selama tidak bertentangan dengan sabda dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Ketiga] Karena kita harus menerima semua yang disampaikan oleh Allah dan rasulNya maka wajib menerima dan beriman dengan semua sifat yang Allah ceritakan dalam Al Qur’an dan hadits yang shahih.
Sungguh keterlaluan ketika Allah mengatakan bahwa Allah memiliki sifat mendengar lalu kita katakan bahwa Allah itu tidak mendengar. Ketika jelas-jelas Allah menegaskan bahwa Dia memiliki tangan, sungguh lancang jika berani kita katakan bahwa Allah tidak memiliki tangan. Ini semua adalah tindakan yang lancang meski kita berniat baik yaitu kita tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk. Niat baik semata belumlah cukup harus diiringi dengan cara yang benar.
Cara yang benar dalam hal ini adalah kita katakan bahwa Allah itu mendengar namun sifat mendengar yang Allah miliki tentu berbeda dengan sifat mendengar yang dimiliki oleh makhluk namun mendengar bagi Allah adalah mendengar yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Demikian pula yang kita katakan untuk sifat-sifat Allah yang lain.
Di salin dari Websitenya Ustadz Aris Munandar, Ss
Web Ustadz Aris Munandar, Ss
Tidak ada komentar:
Posting Komentar